Masjid dalam arti sempit (sebagai sebuah bangunan yang menampung orang-orang untuk melakukan salat Jumat) merupakan tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Karena itu, Allah memberikan perhatian yang sangat khusus terhadap tempat tersebut. Hal itu terbukti dengan banyaknya janji yang ditebar oleh Allah SWT terhadap orang-orang yang mau memelihara dan membangun tempat itu. Salah satu di antara sekian banyak janji itu adalah bahwa Allah akan membuatkan rumah di surga bagi orang yang menggunakan hartanya untuk membangun masjid. Janji ini sesuai dengan sabda Nabi saw,”Barangsiapa membangun dari harta yang halal sebuah masjid untuk Allah, maka Allah mesti membangunkan rumah untuknya di Sorga.”
Namun, masjid dalam arti yang sangat luas (sebagai tempat untuk salat/sujud) adalah semua bumi Allah SWT ini. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw,”… dan dijadikan bagiku semua bumi ini sebagai masjid dan sebagai sesuatu yang suci- mensucikan (debu untuk tayammum).” Sebab, kapan saja kita hendak melakukan salat, maka di mana saja di bumi Allah ini kita bisa melakukannya, tanpa harus mencari masjid atau mushalla. Bahkan, di halaman rumah pun boleh, di jalan raya pun boleh, yang penting tempat yang kita gunakan salat itu suci. Berbeda dengan agama non Islam yang mengharuskan penyembahannya di lakukan di dalam gereja, pura, dan lain-lain.
Selanjutnya, dalam referensi Islam klasik kita tidak temukan istilah ‘mushalla’, sebagaimana lazimnya istilah tersebut pada saat ini. Di Timur Tengah sendiri sampai saat ini -konon- tidak ditemukan istilah ‘mushalla’ sebagai sebuah bangunan, berbeda dengan istilah ‘mushalla’ sebagai sebuah tempat salat. Istilah yang sudah umum untuk wilayah Timur Tengah tersebut adalah masjid, baik bangunannya kecil maupun besar. Hanya saja, di sana terjadi pembatasan nama. Untuk masjid yang tidak digunakan salat Jum’at dinamakan masjid saja, tidak ada embel-embel yang lain, seperti istilah mushalla yang ada di Indonesia. Akan tetapi, untuk masjid yang digunakan salat Jum’at, maka masjid tersebut -biasanya- dinamakan dengan nama masjid Jami’ (masjid untuk melakukan salat Jum’ah). Dan perbedaan kedua istilah tersebut tidaklah terlalu penting bagi kita.
Meski begitu, tema yang menjadi pokok bahasan kita pada edisi ini adalah masjid dalam arti sebuah bangunan yang dikhususkan untuk salat. Oleh karena itu, Allah SWT dan Rasul-Nya memberi perhatian yang luas terhadap tempat tersebut. Perhatian tersebut menyangkut etika kita terhadap masjid atau hukum-hukum yang diberikan Allah SWT terhadap orang-orang yang menyalahgunakan atau menyalahfungsikan masjid itu sendiri. Adapun etika-etika dan hukum-hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hendakya kita selalu menjaga dan memelihara kesucian serta kebersihan masjid, dengan memberikan wangi-wangian, menyapu kotorannya, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw:
Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah saw perintah agar masjid-masjid itu dibangun di dalam rumah-rumah dan hendaknya masjid-masjid itu dibersihkan dan diberi wangi-wangian.” (HR Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi, dan hadis tersebut mursalnya disahihkan oleh at-Tirmidzi).
Dalam hadis tersebut terdapat satu dalil bahwa masjid-masjid yang diberlakukan seperti itu haruslah masjid-masjid yang disediakan untuk kepentingan umat Islam secara umum (liqashdit Tasbiil), bukan masjid yang merupakan milik pribadi dan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
2. Dilarang keras menjadikan makam-makam para Nabi dan orang-orang saleh menjadi masjid. Hal ini dimaksudkan untuk saddudz Dzarii’ah (pencegahan preventif) agar umat Islam tidak mengagungkan benda-benda mati, sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah berhala dan patung. Karena, pengagungan seperti itu akan menyebabkan pengkultusan dan pengkultusan sendiri akan mengarah kepada kemusyrikan, wal’iyadzu billahi. Selain itu, kalau umat Islam melakukan seperti itu, berarti mereka tasyabbuh (menyerupai perbuatan mereka). Padahal, tasyabbuh dilarang keras dalam Islam. Hal itu sesuai dengan hadis Abu Hurairah di bawah ini:
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda,”Allah telah melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan makam para Nabi mereka sebagai masjid.” (Muttafaq Alaihi, dan Muslim menambahkan: “dan orang-orang Nashrani”).
Dari Aisyah ra berkata,”Sesungguhnya Ummu Habibah dan Ummu Salamah keduanya menyebutkan kepada Rasulullah saw sebuah gereja yang banyak gambar-gambarnya yang pernah dilihat di Habasyah (Ethiopia), kemudian Rasul saw bersabda, ‘Sesunggunya mereka apabila ada orang saleh yang meninggal, maka mereka membangun masjid di atas makamnya, dan mereka menggambar beberapa gambar, mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari Kiamat’.”
Hikmah dilarangnya mendirikan masjid di atas makam:
– Saddud Dzaraa’i’ dan menghindari tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
– Menghindari tabdzir dan penyia-nyiaan harta tanpa kemanfaatan yang berarti.
– Karena, hal itu akan menyebabkan penghormatan terhadap makam dengan penghormatan yang bukan semestinya.
3. Dilarang bertanya-tanya dan mencari-cari mengenai barang yang hilang di dalam masjid. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi saw dibawah ini:
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasululah saw bersabda,”Barangsiapa mendengar seseorang yang mencari-cari barang yang hilang di dalam masjid, maka hendaknya dia berdo’a, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu kepadamu’,karena masjid-masjid itu tidak dibangun untuk hal ini’.” (HR Muslim).
4. Dilarang jual-beli di dalam masjid. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw dibawah ini:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila kamu melihat orang yang berjualan atau membeli jualan itu di dalam masjid, maka katakan kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan daganganmu’.” (HR an-Nasa’i dan at-Tirmidzi seraya menganggap hasan hadis tersebut).
Bagi orang yang melihat hal tersebut, wajib mengingatkannya sambil berdo’a dengan do’a tersebut seraya diucapkannya dengan keras. Alasannya, karena masjid tidak dibangun untuk hal ini.
5.Tidak diperkenankan untuk saling membanggakan masjid, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Karena, saling membanggakan masjid termasuk tanda-tanda hari kiamat Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw dibawah ini:
Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw,”Hari Kiamat tidak akan bangkit sehingga oang-orang saling membanggakan masjid-masjidnya.” (HR at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
6. Melakukan salat Tahiyyatul Masjid dua rakaat setiap kali masuk masjid. Hal itu dimaksudkan untuk menghormati masjid, tempat yang sangat dimulyakan Allah, sebagaimana sabda Nabi saw dibawah ini:
Dari Abu Qatadah ra, Rasulullah saw bersabda,”Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk terlebih dahulu sampai dia melakukan salat (Tahiyyatul Masjid) dua rakaat.” (Muttafaq Alaihi).
Sesuai dengan zahir hadis tersebut, salat Tahiyyatul Masjid bisa dilakukan kapan saja, sekalipun pada waktu karahah (waktu dilarangnya melakukan salat) yaitu setelah salat subuh sampai matahari terbit, ketika waktu istiwa’ (matahari tepat di atas kepala kita) dan setelah salat Ashar sampai matahari terbenam. Namun demikian, para ulama masih berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang tetap menyunnahkannya pada waktu karahah dan ada pula yang melarangnya pada waktu karahah.
Di samping itu, berdasarkan zahir hadis, apabila seseorang telah duduk, maka tidak disunnahkan berdiri lagi untuk melakukan salat Tahiyyatul Masjid. Akan tetapi, hal tersebut dibantah oleh sekelompok ulama seraya mengatakan, tetap disunnahkan salat Tahiyyatul Masjid meski telah duduk. Hal itu berdasarkan hadis Abu Dzarr yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam sahihnya, bahwa Abu Dzarr masuk ke dalam masjid, lalu Nabi saw bertanya kepadanya,”Anda sudah salat dua rakaat?” dia menjawab,”belum.” Lalu, Nabi menimpalinya,”Berdirilah, lalu salatlah dua rakaat.” (HR Ibnu Hibban).
Perlukah Salat Tahiyyatul Masjid di Masjidil Haraam?
Untuk masjidil haram, maka tidak disunnahkan salat Tahiyyatul Masjid. Akan tetapi, disunnahkan melakukan tawaf. Sebab, tahiyyah (penghormatan) terhadap masjidil haram adalah dengan melakukan tawaf. Hal itu sudah dipraktikkan Nabi saw sendiri setiap kali masuk masjidil haram, bahwa Nabi saw memulainya dengan tawaf, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya ‘al-Huda’.
Perlukah Salat Tahiyyatul Masjid ketika Salat Fardhu Telah Didirikan?
Bagi orang yang datangnya ke masjid terlambat sehingga masuk ke dalamnya bersamaan dengan didirikannya salat fardhu, maka tidak perlu bagi dia melakukan salat Tahiyyatul Masjid. Akan tetapi, cukuplah bagi dia langsung menggabung kepada salat jamaah yang sudah didirikan tersebut dan bagi dia salat Tahiyyatul Masjid itu sudah tercakup dalam salat fardhu yang dilakukannya. Bahkan, kalau dia sampai melakukan salat Tahiyyatul Masjid terlebih dahulu, maka hal itu terlarang. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw,”Apabila salat telah didirikan, maka tidak ada salat lagi kecuali salat fardhu.” Wallahu A’lamu.
Sumber: Subulus Salaam, Muhammas bin Ismail as-Shan’ani