Pada sabtu pagi (3/3/2012) pukul 04.05 wib kembali stasiun TV swasta MNC TV bersama Majelis Dzikir Az-Zikra pimpinan Ustadz M. Arifin Ilham menggelar program rutinnya yang dikemas dalam sebuah program “Siraman Qalbu”. Tema yang diangkat minggu ini adalah “Hikmah Memahami Al Qur’an” dengan narasumber Ustadz Muhammad Thalib, penerjemah “Al Qur’an Tarjamah Tafsiriyah” dan selaku amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didampingi Ustadz Abu M. Jibriel Abdur Rahman (wakil amir MMI).
Mengawali acara Ustadz Arifin menyampaikan bahwa turunnya al-Qur’an di tengah-tengah umat bertujuan untuk menata kehidupan manusia itu sendiri sehingga akan terjadi keseimbangan dan harmonisasi yang teratur di dalamnya. Namun hal itu baru bisa akan terwujud apabila pemahaman yang dimiliki oleh umat sejalan dengan pemahaman yang sesungguhnya sesuia yang termaktub dalam al-Qur’an itu sendiri. Dan apabila tujuan pemahaman itu tidak tercapai atau bergeser dari apa-apa yang dimaksud dalam al-Qur’an, maka akan segera ditemukan banyak penyimpangan yang terjadi, seperti munculnya banyak aliran sesat, kejadian terror bom atau gerakan anarkis lainnya yang salah-satu faktor pemicunya adalah kekeliruan dalam pemahaman terhadap isi al-Qur’an.
Oleh sebab itu, ustadz Arifin menyebutkan bahwa usaha MMI, terutama kerja-keras ustadz Muhammad Thalib dalam mengoreksi terjemah al-Qur’an yang dikeluarkan Depag RI, patut mendapat apresiasi yang sangat luar-biasa dalam upayanya membantu meluruskan pemahaman umat yang selama ini ‘terkecoh’ oleh petikan beberapa ayat yang ditranslirasi oleh lembaga resmi negara, Depag, namun ternyata bisa sangat merusak akidah umat Islam sendiri.
Ustadz Thalib pada kesempatan pertamanya melanjutkan apa-apa yang telah disampaikan oleh ustadz Arifin bahwa bahasa Arab memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan semua bahasa di dunia. Akan tetapi translirasi bahasa tersebut tidak bisa seenaknya saja oleh sang translater dialihkan dalam bahasa lain tanpa merujuk kepada kaidah-kaidah yang berlaku, seperti keharusan dalam memperhatikan makna kosa-katanya, harus memperhatikan sifat kata, pola-pola kalimat yang dipergunakan, memperhatikan suatu ayat dengan ayat sebelumnya, mengetahui asbabun nuzul suatu ayat, memperhatikan suatu ayat dengan hadits Rasulullah Saw yang berkaitan dengannya, serta sekitar lima kriteria lainnya yang dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur.
Amir MMI yang telah merilis karya monumentalnya tersebut dipenghujung tahun 2011 itu juga menyebutkan dua contoh kekeliruan terjemah Depag dari sekitar 3140 kesalahan yang telah ditemukan, diantaranya ayat 191 surat al-Baqarah yang tertulis sebagai berikut:
” Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,…”
Kalimat bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka, memiliki pemahaman bahwa membunuh orang-orang kafir (orang-orang yang memusuhi Islam) merupakan kewajiban bagi setiap muslim dimana saja mereka menemui orang-orang kafir di sekitar mereka yang nota-bene bukan berada di wilayah perang.
Hal ini tentu saja bila dibiarkan maka akan menimbulkan anarkis dimana-mana, karena dalam Islam sendiri justru disyari’atkan untuk menjaga kehidupan dan keberlangsungan kedamaian. Untuk itu maka terjemah tafsiriyyah yang harus menjadi pegangan umat tentang ayat tersebut adalah “Dan perangilah musuh-musuh kalian dimanapun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang,…”
Contoh terjemahan yang keliru lainnya adalah yang ditemukan pada ayat ke-51 surat al-Ahzab, yang tertulis:
“…dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari istri-istrimu yang telah engkau sisihkan, maka tidak ada dosa bagimu…”
Terjemah diatas harus diakui akan sangat menyesatkan umat karena ini merupakan pintu ‘diabsahkannya’ perbuatan zina pada istri yang telah diceraikan oleh suaminya serta sebuah pemaparan yang sesat karena secara tidak langsung telah menggambarkan kehidupan Rasulullah saw yang memiliki akhlak yang bertentangan dengan syari’at yang dibawanya.
Ustadz Thalib pun lalu menjelaskan bahwa seharusnya terjemahan itu ditafsir “Wahai Nabi, engkau boleh menangguhkan giliran bermalam bagi istrimu mana saja yang engkau kehendaki. Engkau boleh mendahulukan giliran bermalam bagi istrimu mana saja yang engkau kehendaki. Kamu tidak berdosa meminta penukaran jadwal giliran bermalam kepada siapa saja diantara istrimu…”
Pada akhir penjabarannya, ustadz Thalib yang telah meneliti dan mengoreksi al-Qur’an versi Depag itu menekankan bahwa menurut ijtima’ ulama kontemporer, penterjemahan secara harfiyyah telah diharamkan, begitu pula yang telah resmi dikeluarkan oleh beberapa dewan fatwa ulama Timur-Tengah, seperti Mesir, Qatar, Maroko, Jordania, Palestina, dan Tunisia.
Hal ini tentu saja disebabkan karena menerjemahkan secara harfiyyah tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara sar’iyyah maupun dari sisi ilmiahnya sehingga dikhawatirkan akan menggelontorkan akidah umat dari syari’at yang seharusnya dipahami.
Menutup sesi acara yang berlangsung sekitar 60-an menit itu ustadz Arifin mengajak umat untuk segera mempelajari al-Qur’an versi terjemah tafsiriyyah karena hal itu akan lebih mengefektifkan bacaan atau hafalan al-Qur’an yang telah dikuasai, sekaligus meluruskan pemahaman yang mungkin telah terlanjur keliru. “Mari kita baca al-Qur’an, pahami maknanya, dan beramal dengannya.” Insya Allah. (Ghomidiyah)
Sumber: abujibriel.com