Seorang penganut liberal telah mempublikasikan sebuah tulisan yang berjudul “Metodologi Berfatwa Dalam Islam”, katanya: “Setiap umat memiliki hak untuk mengikuti tafsir a la Sunni, a la Mu’tazilah, a la Syi’ah, a la Gus Dur, a la Cak Nur, a la kiai langitan, a la Jaringan Islam Liberal (JIL), a la Ahmadiyah, dan lain-lain. Wahai, serahkanlah kepada umat untuk memilih mana-mana tafsir yang terbaik untuk dirinya.” (lihat, situs JIL, 23/9/2005).
Tampak jelas dalam penggalan di atas, si penulis memiliki pemahaman bahwa setiap orang boleh mengikuti tafsir siapa saja yang sesuai dengan kecenderungannya, tanpa ada rambu-rambu yang jelas, semuanya diserahkan kepada publik untuk memilih.
Dengan sikap yang seperti itu, si kandidat doktor ini juga secara tidak langsung beranggapan bahwa setiap pendapat layak diperhitungkan, tanpa melihat substansi atau kapasitas pencetusnya, tidak heran jika di kesempatan lain si penulis berpendapat bahwa di sana ada kelompok yang pro pluralisme, dan yang kontra pluralisme, sekaligus dalil kedua pihak (Media Indonesia 6/8/2004), tanpa melihat siapa yang pro-kontra, para fuqaha’ atau bukan, si penulis langsung memasukkannya dalam ‘wilayah khilaf’ yang layak diperhitungkan.
Bahkan dalam tulisan terakhir, si penulis “Metodologi Berfatwa” menyarankan agar umat islam mau mengadopsi pendapat non muslim (lihat,”Membentengi Islam?”, dipublikasikan dalam situs JIL, 28/8/2006).
Jika sikap “tidak jelas” ini terus-menerus dikembangkan, maka bisa-bisa perkawinan sesama jenis juga dihalalkan, karena toh bukankah ada beberapa mahasiswa syari’ah dari IAIN yang membolehkan? Walhasil, nalar seperti ini amatlah berbahaya.
Kapan Sebuah Pendapat Bisa Diterima?
Jika tidak semua pendapat boleh diambil, maka kapan suatu pendapat bisa diterima? Ada dua syarat yang harus dipenuhi, hingga sebuah pendapat boleh diambil: Pertama, pendapat tersebut tidak bertentangn dengan dalil qath’i. Kedua, pendapat itu lahir dari seorang mujtahid (lihat, Dirasat Fi Al Ikhtilafat Al ‘Ilmiyah, Dr. Muhammad Abu Al Fath Al Bayanuni, hal. 114)
Jika ada sebuah pendapat yang tidak memenuhi kedua syarat di atas atau salah satunya, maka pendapat itu tidak diperhitungkan, dan tidak boleh dimasukkan dalam lingkup “khilaf”. Pendapat yang bertentangan dengan dalil qath’i tidak boleh diikuti karena tidak diperbolehkan ijtihad sedangkan di sana terdapat dalil qath’i. Inilah yang dimaksud dengan kaidah “la ijtihada ma’a wurudi an nash”, ijtihad dalam keadaan seperti ini sama dengan melangkahi Allah dan rasul-Nya, firman Allah,”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya” (Al Hujurat, ayat 1),”Tidaklah patut bagi mukmin tidak pula mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan berangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab, ayat 36).
Imam Ghazali mengatakan: “Obyek ijtihad adalah semua hukum syar’i yang tidak terdapat dalil qath’i, ijtihad seperti inilah yang membebaskan pelakunya dari dosa apabila terjadi kesalahan dalam ijtihadnya. Adapun kewajiban shalat lima waktu, zakat, serta hal-hal yang jelas-jelas disepakati oleh umat yang terdapat di dalamnya dalil qath’i berdosalah mereka yang menyelisihi, hal itu bukanlah obyek ijtihad.” (Al Mustashfa, vol. 2, hal. 354).
Walau sebuah pendapat lahir dari seorang mujtahid, akan tetapi jika hal itu bertentangan dengan dalil qath’i maka pendapatnya pun tidak boleh dipakai. Imam Syatibi berkata: “Sesungguhnya jika seorang ‘alim terjatuh dalam kesalahan (dalam ijtihadnya) maka pendapatnya tidak boleh dijadikan pijakan, juga tidak boleh bertaklid kepadanya, hal itu karena hasil ijtihadnya bertentangan dengan syara’.” (Al Muwafaqat, vol. 4, hal. 123).
Pun pula, kita tidak boleh mengambil pendapat yang datang dari seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad, karena tidak diperbolehkan bagi mereka yang bukan mujtahid mengambil istimbath (kesimpulan) dalam permasalahan fiqih. Bersandar pada firman Allah: “Maka bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (An Nahl, ayat 43), juga ayat lain yang artinya,”dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Al Isra’, ayat 36).
Imam Syathibi juga berkata: “Ijtihad dalam syari’ah ada dua macam. Pertama, ijtihad yang diperhitungkan secara syar’i, yaitu ijtihad yang datang dari ahlinya, yang menguasai perangkat yang dibutuhkan dalam ijtihad… Kedua, ijtihad yang tidak diperhitungkan, yaitu ijtihad yang datang dari mereka yang tidak menguasai perangkat yang dibutuhkan dalam ijtihad, karena hal itu hakikatnya hanyalah sebatas pandapat yang didasari selera, kebodohan dan perturutan terhadap hawa nafsu, sebagaimana firman Allah: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka…” (Al Maidah, ayat 49),”Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…” (Shaad, ayat 26) (Al Muwafaqat, vol.4, hal 121).
Kewajiban Tarjih Dalam Masalah Khilaf
Dalam masalah ijtihadiyah, jika terdapat dua pendapat atau lebih, yang sama-sama datang dari mujtahid, maka tidak diperbolehkan bagi kaum awam memilih salah satu darinya tanpa melalui proses tarjih terlebih dahulu. Karena dua mujtahid di mata kaum awam seperti dua dalil di mata mujtahid, maka sebagaimana diwajibkan atas mujtahid tarjih, diwajibkan pula atas kaum awam hal itu. Juga atas dasar firman Allah: “…Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya…” (An Nisa’, ayat 59). Dan dua mujtahid telah berbeda pendapat dalam satu masalah yang dihadapi si muqalid, maka si muqalid wajib mengembalikan hal itu kepada Allah dan Rasulnya, yaitu kembali kepada dalil syar’i. Dengan begitu, ia terhindar dari hawa nafsu. Dan memilih salah satu dari dua pendapat dengan hanya berpatokan pada “selera”, bertentangan dengan ruju’ kepada Allah dan Rasul-Nya. (lihat, Al Muwafaqat, vol. 4, hal. 96).
Sebagaimana Ibnu Qoyim Al Jauziyah juga berpendapat, jika seorang mufti dihadapkan dengan dua pendapat, dan dia mengalami kesulitan untuk mentarjih salah satunya, maka mufti tersebut harus tawaquf, tidak mengeluarkan fatwa dalam masalah itu, hingga dia mengatahui mana yang rajih dari dua pendapat tersebut (lihat, I’lamul Muwaqi’in, vol. 4, hal. 474)
Walhasil, jika ada beberapa pendapat maka perlu dilihat terlebih dahulu, apakah pendapat itu bertentangan dengan dalil qath’i atau tidak, hasil ijtihad seorang mujtahid atau bukan. Dan inipun tidak boleh langsung kita ambil, kecuali melalui proses tarjih terlebih dahulu. Wallahu a’lam bishowab.
Oleh: Thoriq Lc
*) Penulis adalah alumnus Syu’bah Syari’ah Islamiyah, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Dikutip dari hidayatullah.com