“Demi Allah wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling kucintai dari segalanya kecuali dari diriku sendiri.”
“Tidak wahai Umar, sampai aku menjadi orang yang paling kau cintai dari dirimu sendiri.”
“Wahai Rasulullah, kini engkau adalah orang yang paling kucintai lebih dari diriku sendiri.”
“Benar Umar, kini kau telah mencintaiku.”
Percakapan antara Rasulullah dengan Umar bin Khattab di atas telah terekam dan diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam shahih-nya. Mulanya Umar ingin mengekspresikan rasa cintanya kepada Rasulullah dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling ia cintai dari segalanya; dari anak-istrinya, hartanya, nenek-moyangya, semuanya, kecuali dari dirinya sendiri.
Namun Rasulullah mengingkarinya dan menegaskan bahwa “cinta sejati” takkan terwujud hingga Umar meletakkan Rasulullah sebagai orang nomor satu yang harus ia cintai melebihi cintanya kepada diri sendiri, persis sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Ahzab ayat-6 bahwa “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.”
Al-Khatabi menegaskan, bahwa cinta terhadap diri sendiri merupakan fitrah setiap manusia, namun mencintai orang lain adalah sebuah pilihan yang membutuhkan sebab dan proses. Sedangkan Ibnu Hajar Al-Asqalany menerangkan bahwa pengingkaran Rasulullah terhadap Umar yang menomor-duakan cintanya kepada Rasulullah tidaklah cukup untuk menempatkan dirinya dalam derajat yang tinggi. Artinya, mencintai Rasulullah adalah bagian inti dari agama suci ini.
Cinta adalah perasaan istimewa yang merupakan fitrah semua manusia. Cinta mungkin lebih tepat jika dirasakan dengan intuisi jiwa ketimbang didefinisikan dengan ukiran kata yang dapat mereduksi makna aslinya.
Sedari dulu para penyair, penulis, pemusik, sastrawan dan seluruh aktivis seni cukup disibukkan dalam mendefinisikan kata yang terangkai dari lima huruf ini, “c-i-n-t-a”. Tapi bagi umat Islam, dalam memaknai “cinta sejati” cukup dengan merujuk kepada kitab utama pedoman umat; yaitu Al-Qur’an.
Ibnu Abbas bahkan pernah mengatakan, “Jika aku kehilangan kekangan onta, maka aku akan mendapatkannya di dalam Al-Qur’an.” Maksudnya, bahwa kandungan ilmu dalam Al-Qur’an sangatlah luas, seluruh aspek kehidupan dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. Baik dari yang sekecil semut (an-Naml) hingga yang sebesar gajah (al-Fiil). Baik itu terkandung secara eksplisit maupun implisit. Demikian halnya masalah cinta yang pada tahap tertentu dapat menjadi pondasi iman paling utama.
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, “Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah [9]: 24).
Dengan mencintai utusan Allah, berarti seorang mukmin telah mencintai Sang Pengutus itu sendiri. dan itulah tafsiran dari syahadatain yang merupakan konsep fundamental dalam Islam; yaitu berikrar dengan lisan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, lalu meyakininya dengan sepenuh hati hingga akhirnya dengan seluruh kemampuan fisik memenuhi segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Itulah mengapa seorang pecinta sejati memiliki gejolak jiwa yang sangat besar dan bahkan bersedia mengorbankan segalanya demi sesuatu yang ia cintai. Maka tak ayal jika Romeo memilih mati bersama Juliet, tak heran jika Qais menjadi Majnun (gila) karena Laila, tak aneh jika Stevan merasa hancur tatkala Magdalena menghianati cintanya, dan tak mustahil jika Noura tega memfitnah Fahri demi mendapatkan cintanya.
Tapi singkirkan dulu novel-novel fiktif di atas, lalu saksikan bagaimana “cinta sejati” pernah terjadi dalam sebuah kisah nyata; Lihat bagaimana Abu Bakar lebih mencemaskan keselamatan Rasulullah daripada dirinya sendiri tatkala mereka dikejar kaum kafir hingga harus bersembunyi di gua Tsur. Perhatikan bagaimana Bilal bin Rabbah lebih memilih dadanya ditindih oleh batu besar yang diletakkan Ummayah bin Khalaf di bawah sengatan terik mentari daripada meninggalkan ajaran Rasulullah.
Lalu saksikan bagaimana Abdullah bin Mughaffal bercucuran air mata saat Rasulullah tidak mengikut-sertakan dirinya dalam medan jihad lantaran tiada kendaraan perang yang tersisa untuknya. Serta cermati bagaimana Utsman bin Affan memenuhi panggilan Rasulullah dengan mendermakan hartanya sebanyak 900 onta dan 100 kuda (belum termasuk uang) untuk jihad fi sabilillah.
Mereka bukanlah para pecinta buta yang mengobral cintanya untuk perkara duniawi. Mereka juga bukan tokoh fiktif yang hanya ditemukan dalam novel-novel belaka. Namun mereka adalah manusia mulia dengan peran nyata yang pernah hadir dalam sejarah dunia.
Para sahabat Rasulullah sangat paham bagaimana harus mencintai agama mereka di atas segalanya, pun demikian mereka tetap proporsional dalam mencintai diri mereka sendiri, mencintai sesama manusia dan bahkan mencintai binatang dan lingkungan sekalipun.
Mencintai diri sendiri berarti menjaga jiwa dari segala hal yang dapat merusak secara lahiriyah maupun batiniyah. Dan itu dapat terwujud dengan tidak mengkonsumsi barang haram serta tidak “mengkonsumsi” segala penyakit hati. Mencintai diri sendiri bisa terlahir juga dengan menjaga keseimbangan amal duniawi dan ukhrawi, sehingga tidak terjebak dalam pemikiran material namun melupakan aspek esensial.
Sedangkan mencintai sesama manusia dapat terlihat tatkala seorang mukmin mengulurkan tangannya kepada siapapun yang membutuhkan bantuannya dalam kebaikan. Konsep Zakat merupakan contoh konkret yang memiliki unsur tolong-menolong dan merupakan salah satu rukun Islam dalam ibadah sosial. Oleh karenanya khalifah pertama Abu Bakar selama dua tahun masa kepemimpinannya sangat tegas dalam memerangi orang-orang yang enggan membayar Zakat. Inilah bukti riil seorang pemimpin yang cinta terhadap rakyatnya.
Lalu yang terakhir adalah cinta terhadap semua makhluk ciptaan Allah termasuk hewan dan tumbuhan. Itu sebabnya, alangkah sempurnanya ajaran Islam bahkan untuk sekedar menyembelih seekor kambing saja terdapat adab dan aturannya sendiri. Hingga dalam kondisi perang sekalipun seorang tentara muslim dilarang untuk melakukan perusakan instalasi umum seperti membakar pohon dan merusak ladang maupun peternakan.
Dengan demikian, seseorang bukanlah pecinta sejati jika masih menyiksa diri sendiri dengan mengkonsumsi narkotika. Bukanlah pecinta sejati jika seseorang masih menikmati empuk-nya kursi “Banggar” namun lupa terhadap nasib rakyatnya yang tengah kelaparan. Dan bukanlah pecinta sejati jika seseorang masih hobi menggunduli hutan serta mengeksploitasi segala kekayaan alam –baik yang di darat maupun di laut– demi kepentingan perut pribadi.
Cinta sejati yang digagas oleh Islam adalah cinta yang universal. Yaitu cinta yang ditujukan kepada Sang Khaliq namun juga kepada si makhluk, mengajarkan cinta kepada diri sendiri tapi juga kepada orang lain. Penafsiran cinta secara generik inilah yang dapat menghilangkan kesenjangan sosial dan mendatangkan kedamaian di manapun ajaran Islam ditegakkan.
Oleh karena itu, dalam memaknai kata “cinta dan kasih sayang” tidak dapat menggunakan teropong secara terbalik yang menyebabkan penyempitan makna terhadap obyek yang dilihat, sehingga apa yang seharusnya luas dan besar terlihat menjadi sempit dan kecil.
Sehingga kata cinta yang sejatinya mengandung makna begitu mulia menjadi sebatas coklat dan bunga mawar saja. Cinta yang seharusnya mengandung nilai filosofi sangat dalam, lantas menjadi dangkal sebatas pemuasan hasrat sesaat yang tak sebanding dengan nikmat yang didapat. Cinta yang seharusnya memiliki jutaan warna akan berubah menjadi warna merah jambu saja. Cinta yang seharusnya terjalin dengan ikatan suci akan menjadi murahan dengan janji gombal tak berarti.
Dan lebih parah lagi, kasih sayang yang meskinya ada setiap saat, setiap waktu dan setiap hari, akan raib dan hanya didapatkan pada hari tertentu saja, akan diperingati pada tanggal 14 Februari saja, kemudian berlangsung secara formalitas dengan perayaan valentine saja. Jelas, ini adalah penyelewengan sekaligus penodaan terhadap kesucian cinta itu sendiri.
Sebagai seorang muslim, tentu kita takkan ikut-serta merayakan pesta yang telah ditetapkan sejak tahun 496 Masehi oleh Paus Gelasius-I ini. Dan tentu, sebagai orang yang mengaku cinta Rasulullah kita takkan pernah sudi ikut memeriahkan ritual yang mengenang seorang pendeta bernama Santo Valentinus itu. Minimal, dalam hati kita masih terbesit rasa tidak suka tatkala melihat pagelaran merah jambu yang diiringi “pengobralan harga diri” itu merebak. Ya, minimal dalam hati saja, karena itu adalah selemah-lemahnya iman yang tetap harus ada dalam sanubari setiap mukmin.
Wallahu A’lam Bis-Shawab.
Oleh:
Musa Yusuf
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo
YM & FB: [email protected]