Weekly Report Arrahmah.com – Kamis, 26 Januari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), Miranda Swaray Gultom (MSG) sebagai tersangka baru kasus suap pemilihan DGS BI yang dimenangkan MSG pada tahun 2004 dengan membagikan 480 lembar cek perjalanan senilai Rp 24 miliar kepada anggota Komisi IX DPR 1999-2004.
Sementara itu, dari persidangan M Nazaruddin di Pengadilan Tipikor, Jum’at, 27 Januari 2012, terungkap fakta persidangan mengalirnya dana sebesar Rp 5 miliar dari Permai Group ke Politisi PDIP, I Wayan Koster. Dana pelicin alias suap tersebut diserahkan dalam dua kali penyerahan dengan bungkus kardus printer dan kardus rokok.
Ini baru secuil data dan fakta yang menunjukkan fenomena gunung es korupsi, suap, dan praktek-praktek penyelewengan jabatan serta penumpukan harta kekayaan gelap oleh para pejabat dan penyelenggara negara perampok di negeri (gagal) bernama Indonesia. Tampaknya para pejabat dan penyelenggara negara yang memiliki semangat dan nafsu yang begitu besar untuk korupsi menerapkan semboyan Korupsi Nan Tak Kunjung Padam!
Pedang Tumpul SBY Berantas Korupsi
SBY pernah sesumbar akan menghunus pedang paling depan dalam rangka memberantas korupsi. Namun semua tahu, pedang yang dihunus SBY itu tumpul. Kalaupun pedang itu tajam, pedang itu hanya hiasan, tidak pernah diayunkan. Kalaupun pedang itu tajam dan diayunkan, maka pedang itu hanya tajam dan diayunkan ke bawah, ke rakyat jelata, dan tidak pernah diayunkan ke atas, ke para penguasa dan kroni-kroninya. Persis seperti hukum di negeri ini.
Saking sulitnya memberantas korupsi nan tak kunjung padam, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin rencananya akan melakukan jihad melawan korupsi. Dibutuhkan pasokan ‘peluru’ dan ‘penembak jitu’ yang tiada henti untuk memukul mundur dan melumpuhkan musuh bersama, yakni korupsi, ujarnya pada acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun lalu. Bahkan, Amir menegaskan bahwa korupsi adalah teroris sejati yang menghambat Bangsa Indonesia menuju bangsa yang makin adil, demokratis, dan sejahtera.
Sementara itu, sejumlah anak muda yang tergabung dalam Poros Muda Nahdatul Ulama di Jakarta, sengaja meminta restu dan nasehat dari pimpinan Pengurus Besar NU sebelum melakukan aksi melawan korupsi. Tokoh NU, KH.Hasyim Muzadi pun memberikan nasihat, restu dan do’a agar para anak muda NU tersebut tidak melenceng dari niat perjuangannya untuk memberantas korupsi. “Wajar generasi muda bergelora untuk memberantas korupsi, karena masa depan masih panjang. Generasi muda butuh kondisi negara yang bisa memberi kepastian, bukan yang justru membuat mereka frustasi. Anak muda butuh Indonesia yang bersih dari korupsi”, ujarnya.
Rencananya, anak muda dari NU, dan elemen-elemen perjuangan dari anak-anak muda lainnya, seperti HMI, IMM, Pemuda Muhammadiyah, PMII, Generasi Muda NU, KAMMI, BEM se-Indonesia, dan kalangan muda lainnya akan melakukan aksi pada tanggal 9 Desember 2011 lalu yang bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia, untuk membebaskan Indonesia dari praktek-praktek korupsi. Namun semangat anak-anak muda ini ternyata tidak lebih kuat untuk melawan semboyan yang sudah mendarah daging dari para pejabat, Korupsi Nan Tak Kunjung Padam!
Jihad Melawan Korupsi ?
Tiga dasawarsa yang lalu, Muchtar Lubis, seorang budayawan dan jurnalis kawakan pernah mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa sehingga sulit untuk diberantas. Saat ini, pernyataan tersebut masih cukup relevan mengingat korupsi nan tak kunjung padam.
Meski sebuah badan bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibuat, intensitas korupsi di Indonesia tidaklah berkurang bahkan makin meningkat. Kasus Bank Century (BC) misalnya, negara dirugikan hingga Rp 6,746 Triliun. Fantastis. Sebuah perampokan negara yang sangat besar. Dengan kondisi ini, KPK bahkan sudah dibuatkan nama barunya, yakni Komisi Perlindungan Koruptor.
Dalam sebuah wawancara dengan Suara Islam, Habib Rizieq Syihab, Ketua Umum DPP FPI dan juga sebagai pemimpin Laskar Anti Korupsi (LAKI) Pejuang, menyatakan bahwa jihad melawan korupsi adalah kewajiban agama. Revolusi tidak bisa dihindarkan, karena Reformasi sudah gagal total bahkan kini Reformasi sudah berubah jadi “Repotnasi”.
Ketika ditanya tentang bagaimana cara membersihkan Indonesia dari para koruptor, Habib Rizieq menjelaskan bahwa yang pertama ganti Sistem Korup dengan Sitem Islam. Kedua, tegakkan Syariat Islam di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa intimidasi mau pun diskriminasi terhadap penganut agama lain.
Selain itu, Habib Rizieq juga menyarankan para koruptor dikenakan sanksi hukum sebagaimana syariat Islam, alias hudud yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
“Jika tindak pidana korupsi dikatagorikan sebagai hudud, maka masuk dalam bagian tindak pidana pencurian dengan sanksi hukum potong tangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.5.Al-Maa-idah : 38. Dan sebagaimana pula Rasulullah SAW telah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap seorang wanita dari Bani Makhzum dalam kasus pencurian.
Sedang jika tindak pidana korupsi dikatagorikan sebagai ta’zir, maka sanksi hukumnya sesuai ketetapan hukum negara yang tidak bertentangan dengan ketentuan syar’i, sehingga bisa beragam mulai dari nasihat dan peringatan serta denda, sampai kepada cambuk dan penjara serta potong tangan. Bahkan bisa mencapai hukuman mati jika sudah mencapai tingkat yang sangat membahayakan, karena termasuk katagori kerusakan tingkat tinggi yaitu “Fasad fil Ardhi” sebagaimana firman Allah SWT QS.5.Al-Maa-idah : 33.
Karenanya, usul saya, jika korupsi di bawah seratus juta potong saja tangannya sesuai hukum pidana pencurian dalam Islam. Jika korupsi di bawah satu milyar potong tangan dan kakinya secara silang (tangan kanan dan kaki kiri) sesuai hukum perampokan dalam Islam. Ada pun jika korupsi di atas satu milyar maka hukum mati saja sesuai hukum perampokan tingkat tinggi dalam Islam.”
Teladan Mullah Muhammad Umar Berantas Korupsi
Sayangnya, belum ada yang mencoba untuk meneladani Mullah Muhammad Umar, pemimpin Taliban, sekaligus Amirul Mu’mini Imarah Islam Afghanistan, sewaktu di masa-masa awal memerangi korupsi di negerinya.
Mullah Muhammad Umar, kala itu melihat negerinya, Afghanistan, dilanda korupsi besar-besaran yang membuatnya berfikir untuk berperang melawan korupsi dan menghancurkan mungkarat (kemaksiatan) yang telah menyebar hampir di seluruh Afghanistan.
Sebagaimana diceritakan oleh Husayn Ibn Muhammad, orang terdekat dan kepercayaan Mullah Umar dalam “The Giant Man” Beliau bersama para santri ilmu syariah dan maulawi atau para ulama Afghanistan di Qandahar mulai memburu para perampok dan pencuri yang menjarah para musafir maupun pedagang.
Mullah Umar berkata: ” Saya telah belajar di sebuah sekolah di kota Sanj Sar di Qandahar dengan sekitar 20 murid yang lain. Kemudian korupsi, pembunuhan, perampasan, dan perampokan telah melampaui ambang batas. Dan pengawasan berada para tangan orang korup dan jahat. Tidak seorangpun bisa membayangkan bisa mengubah dan memperbaiki situasi. Saya telah memikirkan hal tersebut sungguh-sungguh dan berkata kepada diri saya sendiri, “…Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al Baqarah : 286)
Beliau pun menutup bukunya di Sanj Sar dan mulai bergerak bangkit melawan korupsi dan menghancurkan seluruh kemaksiatan di Qandahar. Kami meminjam persenjataan dari masyarakat lalu berkata pada mereka : “Setan yang sedang bertahta itu seperti ketel besar yang menghitam karena panasnya. Padahal hari itu adalah hari-hari pada musim panas yang sangat panas. Perang melawan agama Allah sedang dilancarkan. Kami mengaku berasal dari pasukan agama Allah dan kami tidak dapat melakukan aksi apa pun untuk mendukung syariatNya.”
Masyarakat kemudian mengganti gubernur yang memerintah Kabul pada saat itu, yang tidak mampu menangkap para pencuri yang tak terhitung jumlahnya. Mereka kemudian menunjuk Mullah Umar menjadi amir (pemimpin) atas mereka yang kemudian mengumumkan pemberlakuan syariat Islam di Qandahar.
Itulah awal mula perjuangan Mullah Muhammad Umar memberantas korupsi di Afghanistan hingga akhirnya berhasil memberlakukan syariat Islam secara sempurna dan memadamkan api korupsi hingga tak tersisa lagi. Allahu Akbar!
Weekly Report (Pekan 4/Januari 2012)
Hukum Syar’i Bagi Koruptor
Bermacam jenis hukuman coba diterapkan untuk membuat jera para koruptor. Mulai dari penayangan wajah koruptor di televisi, di kerangkeng di kebun binatang, hukum gantung, hingga dihukum mati. Sebenarnya bagaimana syariat Islam memandang kejahatan korupsi dan apa hukum syari’i bagi koruptor?
Babat Habis Kekayaan Gelap Para Penguasa & Pejabat Negara
Ustadz Abdurrahmah Al Baghdady dalam bukunya Serial Hukum Islam, menjelaskan definisi kekayaan gelap, yakni kekayaan yang diperoleh para penguasa, para kepala daerah, dan para pejabat lainnya secara tidak sah, baik kekayaan yang mereka peroleh itu berasal dari kekayaan negara maupun kekayaan milik penduduk.
Kekayaan yang sah dan halal bagi mereka hanyalah gaji, ganti rugi, atau tunjangan yang telah ditetapkan oleh negara, dan di luar itu semua adalah kekeyaann gelap yang haram hukumnya. Harta kekayaan gelap harus dikembalikan kepada pemiliknya atau dimasukkan ke dalam Baitul Mal dan menjadi milik seluruh kaum Muslimin (kekayaan umum).
Rasulullah SAW., bersabda:
“Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizki (imbalan berupa gaji atau lainnya), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan.” (HR Abu Daud)
Al Baghdady menambahkan, termasuk kekayaan yang diperoleh secara haram adalah suap, dimana penyuap, penerima suap, dan orang yang menyaksikan penyuapan dilaknat oleh Islam. Sebuah hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrany, Al Bazar, dan Al Hakim, berasal dari Tsuban yang mengatakan bahwa :
“Rasulullah SAW., melaknati penyuap, penerima suap dan orang-orang yang menyaksikan penyuapan.”
Harta suap adalah harta haram, penerimanya, pemberinya dan perantaranya wajib dijatuhi hukuman berat, bisa hukuman mati, atau penjara selama 25 tahun. Harta suap tersebut kemudian disita dan dikembalikan ke Baitul Mal (kas negara).
Hukum Mati Para Koruptor!
Menurut Ahmad Alim, korupsi (al-ikhtilas) merupakan salah satu tindak kejahatan harta, yaitu memakan harta manusia dengan cara yang batil (QS. 2:188), atau lebih spesifik lagi, korupsi termasuk dalam kategori ghulul (penghianatan wewenang) (QS.3:161), dimana pelakunya menyalahgunakan harta negara, perusahaan, atau masyarakat, demi kepentingan pribadinya.
Meskipun nash tidak secara langsung menjelaskan had atau kifaratnya. Bukan berarti pelaku korupsi bebas dari hukuman, akan tetapi had tersebut berpindah menjadi ta’zir yang kebijakannya diserahkan kepada hakim (ulil amri). Tentunya kebijakan tersebut tidak serta merta berdasarkan pada kepentingan hawa nafsunya, akan tetapi harus memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam hukum Islam yang berasaskan atas keadilan, dimana berat-ringannya hukuman tergantung pada besar-kecilnya nilai nominal uang, material, dan bentuk lainnya yang dikorupsi dan dampak yang ditimbulkannya.
Memasukkan hukuman korupsi dalam kategori ta’zir, hal itu dikarenakan harta yang dicuri merupakan harta yang syubhat (harta negara/baitul mal) dan merupakan harta milik umum. Dalam hal ini Rasulallah SAW., menegaskan idzraul hudud bisyubuhat, artinya tanggalkan hudud dengan adanya syubhat.(HR.Al-Baihaqi).
Hukuman ta’zir bagi koruptor sangat bervariasi mulai dari pemberian teguran, tasyh’ir (diblow up lewat media massa), denda (gharamah maliyah), jilid (cambuk), pemboikotan (hajr), penjara (sijn), pengasingan (taghrib), bahkan hukuman mati (qatl) sekalipun.
Menurut Ibn Abidin, hukuman ta’zir tidak ada ketetapan khusus, dengan demikian ta’zir diserahkan pada kebijakan hakim, sesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan oleh mujrim. (Ibn Abidin, Rad Al-Mukhtar Ala Al-Durar Al-Mukhtar, hlm.119).
Sementara itu, korupsi menurut Al Baghdady adalah suatu jenis penjambretan dan perampasan, dan bukan termasuk pencurian, karena itu tidak dikenakan hukum potong tangan.
“Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad)
Uang hasil korupsi adalah penghasilan haram dan wajib disita lalu diserahkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar bin Khattab r.a., apabila meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, maka ia akan menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilan yang sah.
Tengku Azhar, Lc dalam artikelnya berjudul Korupsi dalam Tinjauan Fiqih Islam menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah dikatagorikan dalam Al-Ghulul (pengkhianatan terhadap harta yang diamanahkan) dan Al-Ghasysy (penipuan) maka secara substansinya korupsi dikembalikan pada hukum Al-Ghulul dan Al-Ghasysy itu sendiri.
Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161)
Menurut para mufassirin ayat ini turun pada perang Badar, disebabkan ada sebagian shahabat yang berkhianat dalam masalah harta perang.
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan masih banyak lainnya yang menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman yang berat bagi para pelakunya pada hari kiamat.
Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghulûl (berkhianat dengan mengambil harta ghanîmah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syâfi’î pernah ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. Asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan Al-Hudûd pada badan, demikian pula Al-`Uqûbât (sanksi), adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.
Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali.
Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
Walhasil, Islam telah memberikan kejelasan sanksi bagi para pelaku kejahatan korupsi, mulai dari yang ringan hingga kelas berat. Jadi, mengapa ragu menghukum mati para koruptor?
Weekly Report (Pekan 4/Januari 2012)
Rusaknya Trias Politika, Gantikan Dengan Syariat Islam
Terdapat perbedaan yang mendasar – bagaikan bumi dan langit – antara sistem politik dan sistem hukum demokrasi (sekuler), dengan sistem politik dan sistem hukum Islam. Pertama dan utama yang membedakannya adalah asal muasal sistem tersebut berbeda, dimana sistem politik dan sistem hukum demokrasi berasal dari manusia sedangkan sistem politik dan sistem hukum Islam berasal dari pencipta manusia, Allah SWT. Berikut perbandingan antara sistem Trias Politica dengan Tiga Pilar Keadilan dalam Islam!
Rusaknya Trias Politika
Siapapun tahu, sistem bernegara ala ahli hukum Perancis, Montesquieu ini rusak dan cacat sejak lahirnya. Hal ini karena sistem bernegara yang banyak dipakai tersebut, termasuk negeri ini, adalah buatan manusia yang tentunya mengandung banyak kelemahan.
Salah satu kelemahan mendasar dari sistem pemisahan kekuasaan ini cenderung disalahgunakan dan menjadi alat kekuasaan pribadi dan golongan semata, dan akhirnya menghasilkan pribadi-pribadi yang korup, masyarakat yang rusak, dan akhirnya menciptakan negara gagal. Sistem Trias Politica ini dikenal dengan pembagian kekuasaan menjadi tiga bagian, yakni Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
1. Legislatif
Lembaga legislatif di Indonesia adalah DPR untuk pusat dan DPRD untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota ditambah DPD sebagai perwakilan daerah. DPR-RI memiliki tugas diantaranya membentuk undang-undang dan melakukan pengawasan (supervisi) terhadap penggunaan APBN.
Wewenang dan tugas legislatif ini memang sangat super, bahkan kelewat super dan melampaui batas, hingga menyerupai dan mengambil hak-hak pembuat hukum yang sebenarnya yakni Allah SWT.
Apa yang terjadi jika DPR menyalahgunakan tugas, fungsi dan wewenangnya? Tentu saja merajalelanya korupsi, pesta pora uang rakyat, sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini. Lembaga DPR/MPR yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai lembaga terhormat, dengan orang-orang yang terhormat, akhirnya hanya menjadi sarang perampok, ladang korupsi, dan menjadi tempat bercokolnya berhala-berhala modern pembuat hukum berdasi. Na’udzubillah min dzalik!
Dalam artikelnya Anomali Trias Politika, Mario F. Lando mengatakan, “Dengan genggaman hak kontrol, seolah-olah membuat mereka memata-matai birokrasi agar tidak salah dan tidak korup. Dengan menggenggam hak budgeting, seolah-olah membuat mereka sangat tahu dan paham cara mengalokasikan anggaran negara secara efisien dan efektif. Mungkin banyak kalangan yang terlena bahwa anggota DPR merupakan sosok (yang katanya) bersih, cerdas, santun, bersahaja, dan terhormat. Tapi, bagi saya hal itu sangat jauh. Hal yang menarik adalah, mereka (anggota DPR) yang banyak tampil diberbagai media malah menuduh anggota DPR lainnya memiliki kemewahan tiba-tiba. Pertanyaan mendasar, dari mana sumber kekayaan mendadak bagi anggota DPR, terutama yang tidak berlatarbelakang pengusaha? Kemudian bagaimana menjelaskan mereka tiba-tiba memiliki segudang proyek APBN? Apakah mereka sekarang ini berani dengan pembuktian terbalik? Saya yakin, TIDAK. Tapi apakah mereka mau dikatakan bersih? Saya yakin, YA.
2. Eksekutif
Kekuasaan eksekutif dalam suatu negara ialah merupakan kekuasaan dimana dijalankannya segala kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan badan legislatif dan menyelenggarakan undang-undang yang telah diciptakan oleh badan legislatif. Akan tetapi, dalam perkembangannya pada masa negara modern seperti saat ini kekuasaan badan eksekutif jauh lebih luas karena kekuasaannya dapat pula mengajukan rancangan undang-undang pada lembaga legislatif. Namun fakta yang terjadi adalah lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan yang terdiri dari kementerian, gubernur, bupati dan walikota, juga melakukan korupsi. Sama dengan legislatif, kalangan eksekutif pun kebanyakan dari partai politik (parpol). Tanpa dukungan parpol mereka tidak mungkin dapat menduduki kursinya sekarang, untuk memperoleh dukungan dari parpol mereka membutuhkan dana. Karena parpol tidak akan menerima mereka sebagai kadernya kalau tidak memberikan uang. Tiada uang tiada kursi.
Jumlah uang yang pernah terungkap untuk jabatan Gubernur DKI yang diminta oleh sebuah parpol konon hingga mencapai Rp 40 milyar! Sebuah jumlah yang fantastis, tetapi toh masih ada orang yang berani memberikannya demi kedudukan gubernur tersebut. Jadi, sudah jadi rahasia umum bahwa untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota, sejumlah uang dalam jumlah besar harus sudah disiapkan.
Lihat, betapa rusaknya sistem pembagian politik ala Trias Politika ini. Legislatifnya rusak, maka eksekutifnya juga ikut-ikutan rusak, padahal eksekutif adalah kepala negara yang seharusnya menjadi pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas semua hal yang dipimpinnya, termasuk korupsi di legislatif, dan di eksekutif sendiri. Lalu, siapa yang akan mengadili mereka?
3. Yudikatif
Badan yang terakhir, yang akan berfungsi sebagai badan peradilan menurut sistem Trias Politika adalah Yudikatif. Badan Yudikatif berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, dikenal adanya 3 badan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Mahkamah Agung, sesuai Pasal 24 A UUD 1945, memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Mahkamah Konstitusi, sesuai Pasal 24 C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Komisi Yudisial, sesuai pasal 24 B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
Ironisnya, tidak jauh berbeda dengan dua lembaga yang sudah dibahas sebelumnya, lembaga yudikatif sebagai lembaga penegak hukum pun tak terlepas dari korupsi. Sudah sangat banyak contoh kasus yang terjadi yang melibatkan hakim-hakim nakal di dalam jajaran yudikatif yang menjadi sorotan publik. Seperti penangkapan hakim ad hoc di Bandung, Imas Dianasari, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa korupsi di lembaga peradilan sudah sangat sistemik. Artinya, orang sebersih apapun akan tergoda memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.
Menurut pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, peristiwa hakim ad hoc tertangkap telah menghapuskan asumsi bahwa hakim ad hoc tidak selamanya bersih. Karena itu dibutuhkan pengawasan yang ketat dari masyarakat terutama sipil dan pers, karena Komisi Yudisial belum bisa diharapkan maksimal dalam menjalankan fungsinya.
Lengkaplah sudah rusaknya sistem politik dan sistem hukum di negeri gagal ini yang mendadopsi Trias Politika ditambal sulam dengan hukum pidana dan perdata peninggalan penjajah Belanda. Akhirnya orang menyebut negeri ini sebagai “Republik Kleptokrasi” atau negeri maling, karena maling memang ada di mana-mana, di legislatif, eksekutif, maupun di yudikatif. Astaghfirullah!
Syariat Islam, Satu-Satunya Solusi
Jika kita melihat bagaimana uniknya sistem peradilan jika Negara Islam dijalankan, kita akan melihat bahwa pengadilan bukan semata-mata faktor yang mengekang naiknya tingkat kejahatan, melainkan ia adalah batas pertahanan terakhir. Kita akan menyaksikan bagaimana negara menjamin hak-hak seseorang, dan memastikan bahwa keadilan adalah satu-satunya wasit (yang adil) dalam perselisihan-perselisihan.
Tidak seperti peradilan di bawah hukum buatan manusia, dimana keadilan hanya menjadi milik orang-orang yang berduit, sementara bagi rakyat miskin keadilan hanyalah mimpi indah yang takkan pernah terwujud. Keunikan sistem peradilan Islam dibangun di atas tiga pilar berikut ini.
1. Taqwa, Garis Pertahanan Anda
Sebagai seorang muslim, Anda menilai bahwa keyakinan Anda dalam Islam dan kondisi keta’aan terhadap Sang Pencipta, Allah SWT., menyebabkan Anda berbuat dengan cara-cara tertentu. Ketaqwaan Anda (takut kepada Allah) akan memotivasi Anda untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang (haram) dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan (fardhu). Sehingga secara otomatis hal ini akan membantu mencegah Anda dan muslim yang lain di sekitar Anda dari tindak kejahatan seperti pencurian, perampokan, korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain, karena itu semua adalah haram.
Bagi seorang Muslim, persoalan tersebut kemudian menjadi tidak bisa menimbulkan resiko tindak kriminal sebab ada kemungkinan ia akan tertangkap. Lebih-lebih masih akan menghadapi hukuman di neraka, dimana Allah SWT., Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat menyiapkan hal itu bagi orang-orang yang tersesat, yang melakukan tindak kejahatan.
B. Tekanan Dari Publik
Faktor kedua berkenaan dengan masyarakat itu sendiri. Dalam negara Islam, Anda berada di sebuah lingkungan yang hanya berlandaskan pada Islam dan menyerukan nilai-nilai dan perasaan Islam. Tidak akan ada pengaruh-pengaruh media yang bertujuan menjauhkan Anda dari keta’atan kepada Allah SWT., ataupun ambisi-ambisi yang tidak Islami yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar kita, seperti sukses dengan segala cara (korupsi, suap, makelar kasus, dll) atau meningkatkan status, mempengaruhi kita.
Anda akan merasakan bahwa diri Anda dikelilingi oleh orang-orang yang memandang rendah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan Islam dan sebaliknya memuji orang-orang yang amalnya sesuai dengan Islam. Semua ini akan menciptakan sebuah opini publik melawan tindakan kejahatan yang akan berfungsi sebagai “pengawas” terhadap orang-orang yang berniat melakukannya (tindak kejahatan).
C. Keadilan Dalam Islam
Manusia sangat terbatas pengetahuannya dan bisa keliru (salah). Mereka cenderung salah dan bersifat menduga-duga (berprasangka). Islam tidak menyerahkan pembuatan undang-undang peradilan kepada kehendak dan hawa nafsu manusia sebagaimana yang terjadi di Barat dan negara-negara yang menerapkan hukum sekuler. Namun kebolehan membuat undang-undang (hukum) hanya bagi Allah SWT., Pencipta manusia dan satu-satunya Yang Maha Mengetahui tentang manusia. Siapakah yang lebih pantas dalam perkara ini.
Allah SWT., berfirman:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS.al-An’am (6) :57)
Sehingga Anda tinggal menyakini bahwa dalam peradilan Islam, faktor-faktor seperti hakim berkolusi dengan terdakwa, hakim kolusi dengan jaksa, hakim menerima suap, dan sejenisnya, pasti tidak akan ada.
Jika Anda adalah korban kejahatan dan Anda miskin sedangkan lawan Anda kaya, tidak akan ada pengaruhnya terhadap putusan pengadilan. Meskipun Anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil untuk berbicara atas nama Anda, juga tidak ada sejumlah besar uang yang harus dipertaruhkan (suap).
Oleh karena itu, tidak masalah siapa pun yang mengajukan kasus Anda, atau seberapa persuasifnya dia bicara, melainkan hal tersebut diserahkan kepada hakim untuk memastikan fakta-fakta yang ada dan mengevaluasinya.
Dalam Islam, kesalahan yang terbukti nyata sudah cukup untuk pelaksanaan sebuah hukuman. Sehingga, tidak ada konsep juri dimana anggota-anggotanya mungkin tidak setuju satu sama lain terhadap suatu putusan, yang tentu saja didasarkan atas kehendak pribadi.
Bukti-bukti tidak langsung, yang bersifat tidak pasti dan cenderung memiliki penafsiran yang berbeda-beda, tidak cukup seluruh bukti dihadirkan kepada seorang hakim yang ahli di bidang hukum, dan dia menjatuhkan hukuman sesuai dengan hukum-hukum yang berasal dari Islam.
Maka, hanya mereka yang terbukti sebagai pelaku tindak kejahatanlah yang akan dihukum. Bisa saja kejahatan-kejahatan tersebut tidak mendapat putusan hukum secara langsung, namun ia tidak bisa lari dari hukum di hari pembalasan nanti (Hari Akhirat).
Demikian sekilas Tiga Pilar Keadilan Dalam Islam yang menjelaskan mekanisme keadilan dalam sistem hukum Islam. Begitu pula dengan sistem politik Islam, khususnya dalam masalah kenegaraan dan pembagian kekuasaan yang pastinya berbeda jauh dengan sistem Trias Politika. Kondisi kacau dan korupsi nan tak kunjung padam di negeri ini sudah cukup membuktikan kegagalan dan lemahnya sistem hukum buatan manusia, di samping kebobrokan oknum-oknum penegak hukum dan pemerintahan itu sendiri.
Maka, jika negara ini ingin bangkit dari keterpurukannya, tidak ada solusi selain penegakan hukum Islam secara kaafah. Karena hanya dengan syariah Islamlah keadilan yang sejati bisa dicapai dan jargon Islam sebagai Rahmatan lil Alamien menemui wujudnya. Insya Allah.
(M Fachry/arrahmah.com)