Jakarta (Arrahmah.com) Sedianya acara pertemuan antara FUI (Forum Umat Islam) dengan Komisi III DPR RI yang membidangi hukum dan hak asasi manusia dilangsungkan pada pagi hari ini yakni Kamis, 17 Juni 2010 pukul 10.00 WIB, namun karena adanya rapat paripurna maka pertemuan FUI dengan anggota DPR RI Komisi III dilangsungkan tengah hari sekitar pukul 12.00.
Para perwakilan dari FUI terdiri dari Sekjen FUI KH. Muhammad Al-Khatthath, Munarman, Ahmad Michdan, Ahmad Sumargono ,KH. Misbahul Anam, Ust. Abu Jibril, KH. Fathul ‘Azhim, dan beberapa perwakilan tokoh ormas lainnya diterima Komisi III DPR RI.
Anggota Komisi III yang hadir diantaranya adalah; Fahri Hamzah sebagai pimpinan rapat, Firman Jaya, Ahmad Yani, Nudirman Munir, Ruhut Sitompul, dan yang lainnya.
Dalam rapat tersebut FUI (Forum Umat Islam) menyampaikan adanya rekayasa pemberantasan terorisme yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Hal ini terlihat dengan adanya keterlibatan salah seorang oknum polisi (konon seorang desertir) yang bernama Sofyan Sauri yang telah menjadi penghubung peristiwa Aceh, Pamulang, Pejaten dan Solo. Peristiwa ini persis seperti peristiwa KOMJI (Komando Jihad) yang direkayasa aparat keamanan pada dekade 1970-an.
Dalam surat terbuka yang dilayangkan kepada angggota Komisi III DPR RI FUI menyampaikan beberapa himbauan diantaranya:
- Menolak dan menghentikan setiap upaya rekayasa terorisme yang mengorbankan anak bangsa sendiri, terlebih seorang ulama seperti KH. Abu Bakar Ba’asyir
- Mengontrol KAPOLRI agar tetap pada tracknya sebagai aparat keamanan yang digaji oleh rakyat, bukan bekerja untuk segelintir elit penguasa yang tunduk pada program war on terrorism yang dikendalikan AS.
- Berkaitan dengan penahanan, penyiksaan para aktivis JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid) dan penyegelan kantor sekretariat JAT yang merupakan salah satu anggota FUI (Forum Umat Islam) menyerukan kepada anggota komisi III untuk memanggil Kapolri dan memintanya untuk menghentikan aksi tersebut dan merehabilitasi para aktivis Islam yang direkayasa sebagai teroris sehingga mereka bisa berkativitas seperti biasa.
Munarman yang juga anggota TPM (Tim Pengacara Muslim) memberikan pemaparan berbagai keganjilan dalam operasi pemberantasan terorisme kepada anggota Komisi III. Ia mengatakan:
“Adanya posko-posko yang dibentuk oleh tim BUSER atau Satgas anti Bom -bukan Densus- dimana posko ini tidak berada di lingkungan markas kepolisian RI baik itu Mabes Polri, di Polda maupun di Polsek. Posko ini bukan hanya untuk penanganan kasus terorisme, namun posko ini juga digunakan untuk penanganan tindak pidana lainnya, contohnya; dalam tindak pidana Curas (Pencurian dengan Kekerasan) orang-orang yang ditangkap itu biasanya terlebih dahulu tidak langsung di bawa ke kantor polisi tetapi disimpan dahulu di suatu tempat, dan ini adalah hasil wawancara langsung dengan narapidana-narapidana. Jadi ditangkap, dipukuli, digebugi dulu baru kemudian dibawa ke penyidik di markas kepolisian.
Kerja seperti ini juga terjadi dalam pemberantasan terorisme, salah satu posko tempat dilakukan proses untuk mendapatkan pengakuan itu adalah sebuah hotel Pondok Wisata di daerah lebak bulus. Para pelaku ditelanjangi dibawa ke hotel tersebut kemudian diancam akan disodomi termasuk diantara salah satunya adalah Muhammad Jibril. Inilah upaya sitematis karena ini telah menjadi pola kerja umum.”
“Menurut keterangan Susno Duaji ia juga menyatakan adanya Satgas-Satgas liar, dibentuknya tim-tim khusus di luar struktur jabatan kepolisian. Dalam penanganan kasus terorisme ini ada tim lain di luar Densus 88 yang bernama Satgas Anti Bom yang mengumpulkan para alumni-alumni baru, ia merekrut sebanyak 40 orang yang tugasnya untuk melakukan pengejaran (tim Buser) nah, tim inilah yang melakukan pembunuhan, penyiksaan terhadap para tersangka kasus terorisme.”
Selanjutnya Munarman juga meminta kepada Komisi III DPR RI untuk melakukan berbagai upaya diantaranya sebagaimana yang ia jelaskan:
Pertama, “pada periode yang lalu ketika Da’i Bahtiar masih menjadi Kapolri dengan terbuka ia menyatakan bahwa ia baru mengumpulkan dana sebesar US $ 50 juta dari pemerintah AS termasuk untuk pembentukan, pelatihan Densus 88. Oleh sebab itu Komisi III diminta menggunakan kewenangannya untuk mengaudit dana-dana yang digunakan oleh Densus 88. Yang perlu bapak-bapak ketahui bahwa Densus 88 membeli pesawat dan beberapa pejabat Densus 88 bahkan keluarganya tidak hidup di Indonesia, anaknya, istrinya itu tinggal di Singapura, pertanyaannya dari mana biaya itu?”
Kedua, “DPR menggunakan hak interpelasinya mengenai satgas-satgas di luar struktur dan posko-posko liar tadi.”
Ketiga, “Dan yang paling penting DPR bisa menggunakan hak angket karena ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap ekstra judicial killing (pembunuhan di luar proses hukum), terutama contoh kongkritnya adalah terhadap dua orang yang hingga dikuburkan tidak diketahui identitasnya.”
Anggota DPR Komisi III Fahri Hamzah yang memimpin rapat siang itu mengatakan bahwa, “kami memerlukan kinerja yang lebih luas bukan hanya di dewan tapi juga di Komnasham dan institusi-institusi lain yang concern dalam masalah ini. Mudah-mudahan ini bukan pertemuan yang terakhir tetapi ada persiapan-persiapan dari kita untuk menyiapkan bukan hanya fakta hukum tetapi juga dokumen delik untuk kemudian kita ajukan sehingga bisa dinvestigasi masalah ini secara lebih luas. ”
Sementara Anggota komisi III lainnya Nudirman Munir menambahkan, “bahwa darah umat islam yang menjujung kemerdekaan ini bagaikan sungai yang mengalir banyaknya dan luar biasa pengorbanannya karena itu kita sebagai generasi penerus mempunyai kewajiban membela kepentingan mereka dan saya yakin dengan data-data yang bapak punya kita akan mempertanyakan ini semua kepada Kapolri, karena itu seperti apa yang disampaikan oleh rekan saya Fahri Hamzah sebagai pimpinan Komisi III tadi yakinlah bahwa ini akan kami permasalahkan ini sampai ke akar-akarnya.”
Senada dengan Anggota dewan yang lainnya Ahmad Yani menginginkan agar permasalahan ini ditindaklanjuti ke Panja Pengawasan hukum.
Dan beberapa anggota dewan lainnya yang hadir dalam rapat tersebut pun turut mendukung untuk mengusut tuntas berbagai pelanggaran kemanusiaan yang terjadi.
Setelah para anggota komisi III selesai memberikan tanggapan KH. Mudzakir ulama asal solo ini menegaskan bahwa umat Islam di solo menolak berbagai rekayasa terorisme yang dilakukan sebagai pengalihan isu seperti kasus Bank Century.
Sementara salah seorang perwakilan FPI yang hadir mengusulkan agar institusi POLRI diletakkan di bawah kementrian dalam negri agar POLRI lebih sipil dan bermasyarakat juga tidak liar. “orang baru diduga teroris sudah main tembak, buat apa adanya pengadilan, buat apa adanya kejaksaan?” imbuhnya.
Tidak ketinggalan KH. Fathul ‘Azhim salah seorang ulama dan tokoh masyarakat Banten (keturunan Sultan Ageng Tirtayasa), mengutip pernyataan salah seorang pejabat Lemhanas dan Ketua MK dalam sebuah surat kabar yang menuntut agar POLRI benar-benar bisa membuktikan bahwa mereka yang ditangkap dan dibunuh itu adalah benar-benar teroris dan harus dibuktikan melalui pengadilan. Beliau juga mengeluh lantaran isu terorisme ini berbagai aktivitas seperti pengajian di kediaman beliau yang diasuh oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir setiap awal bulan mendapatkan fitnah dari penduduk setempat bahkan para oleh Kiyai dan Ulama (MUI Serang) sebagai tempat pengkaderan teroris.
Terakhir sebagai penutup rapat dengan Komisi III Ust. Abu Jibril juga ikut menyampaikan himbauannya kepada Komisi III dan juga mengisahkan apa yang dialami putranya Muhammad Jibril Abdurrahman yang saat ini masih dalam proses persidangan.
“Kami dari tahun yang lalu sudah datang ke Kompolnas, Komnasham, ke Mabes Polri bahkan sudah dua kali kami ke sana untuk membicarakan masalah teroris ini secara nasional, agar perkara ini tidak menjadi kambing hitam khusus untuk kaum muslimin. Apa yang dilakukan oleh non muslim seperti OPM tidak pernah dikatakan sebagai teroris tetapi disebut separatis. Kelihatannya bahwa teroris ini hanya diperuntukkan untuk kaum muslimin yang menurut versi Densus melakukan kejahatan padahal belum dibuktikan. Kami sudah menyarankan kepada pemerintah agar duduk bersama ulama, untuk menuntaskan apa itu terorisme, apa itu jihad, apa itu teroris, apa itu mujahid?.”
“selanjutnya saya mendapat data dari anak saya Muhammad Jibril yang sekarang sedang disidang, bahwa begitu ia ditangkap oleh Densus yang beragama Islam lalu penyikasaan dilakukan oleh Densus yang tidak beragama Islam dan waktu disiksa itu ada Gories Mere yang menyaksikan penyikasaan anak saya dan itu dilakukan oleh mereka sebelum tujuh hari, empat hari berturut-turut. Saya sudah sampaikan kepada Daud Nasution, Susno Duaji dan Saleh Saaf pada waktu itu, agar jangan sampai anak saya disiksa, ternyata disiksa dan ditelanjangi dan ditubuhnya saya melihat ia mengalami penyikasaan. Jadi saya ingin proses ini dilihat bagaimana proses penyikasaan itu, bagaimana tangannya ketika dilingkarkan besi kemudian dialiri listrik dan ini tidak pernah menjadi pemberitaan. Oleh karena itu kepada Komisi III jangan sampai ini hanya menjadi sebuah cerita, kami sudah banyak melapor-melapor dan melapor tetapi tidak ada tindakan. ”
“Dan yang terakhir, pemerintah melalui Presiden, Kapolri begitu bersemangat menjadikan isu terorisme ini. Bahwa umat Islam dimana pada waktu itu diumumkan Kapolri, mereka yang dituduh teroris ini akan mengadakan revolusi pada tanggal 17 Agustus yang diperkirakan seluruh jajaran pemerintahan ini meninggal semua (dibunuh), kemudian besoknya akan dideklarasikan syari’at Islam, seolah-olah begitu ditayangkan teroris inilah yang akan menegakkan syari’at Islam di Indonesia, berarti semua umat Islam yang ingin menegakkan syari’at Islam dituduh sebagai teroris, ini juga perkataan presiden, kita tidak mau Presiden dan Kapolri sebagai pembohong!.”
Source : muslimdaily.net