Oleh: Jaka Setiawan[*]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya berada dalam situasi yang canggung saat menjawab pertanyaan dari seorang wartawan Australia setelah KTT ASEAN di Bali dua bulan lalu. Meskipun Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan juru bicara kepresidenan Teuku Faizasyah, telah berusaha bergerak membantu Presiden untuk menjawab pertanyaan, SBY justru bersikeras meminta bantuan dari seorang penasihat ketiga Dino Patti Djalal. “Dimana Dino? Dimana Dino? “Kata Presiden, mencari sedikit lama keberadaan Dino Patti Djalal sang ajudan terpercaya, yang sekarang menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Kemudian Dino datang ke depan untuk menjelaskan pertanyaan untuk Presiden.
Satu bulan bekemudian, ketika acara penunjukan 26 diplomat Indonesia untuk ditempatkan ke luar negeri, ada pemandangan yang cukup janggal, Marty sebagai Menlu justru terlihat berdiri di sudut belakang dalam upacara di Istana Negara Jakarta. Kejadian tersebut sontak menggelitik para wartawan dan pengamat mengenai kejanggalan tersebut.
Seorang diplomat senior yang ada di acara tersebut menggambarkan situasi itu sebagai sesuatu yang sangat jarang terjadi. Seharusnya Marty berdiri di baris depan ketika SBY mengambil sumpah para utusan baru, mengingat bahwa ia adalah atasan langsung mereka, ujar diplomat senior yang menolak disebutkan namanya. Pemandangan itu semakin memperkuat rumor bahwa keretakan itu muncul antara Marty dan SBY. Keretakan muncul setelah Marty mengatakan bahwa rencana AS untuk menempatkan 2.500 Marinir AS di Fort Robertson, Darwin Australia akan memicu “ketegangan” dan “ketidakpercayaan” di wilayah tersebut.
Presiden AS Barack Obama, yang menghadiri KTT ASEAN di Bali tak lama setelah mengumumkan rencana Darwin, dilaporkan menyatakan ketidaksukaannya dengan komentar Marty tersebut kepada SBY. Beberapa berspekulasi bahwa SBY berencana untuk mengganti Marty, dengan Dino dianggap calon terkuat penggantinya.
Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan “waktu yang buruk” bagi Yudhoyono untuk melakukan langkah pergantian tersebut, dengan asumsi bahwa rumor itu benar. “Jika dia berkeras melakukan penggantian sekarang, itu akan memicu pertanyaan besar bagi publik, terutama setelah pernyataan Obama dilaporkan tidak suka,” kata Ikar. “Ini akan membuatnya terdengar seolah-olah [SBY] adalah kroni AS, seolah-olah ia menerima pesanan politik dari AS,” tambah Ikrar.
Visi America’s Pacific Century
Pernyataan keras Marty diawal KTT ASEAN mengenai pangkalan AS di Darwin sebenarnya merupakan caranya untuk memancing atau untuk mengetahui niat sesungguhnya penempatan pasukan AS di wilayah Pasifik tersebut. Namun apa daya, SBY justru menganggap siasat Marty tersebut sebagai sebuah blunder yang memicu keretakan antara Sang Presiden dengan Menteri Luar Negerinya. Pernyataan Marty sebenarnya sangat beralasan apabila kita melihat secara historis bagaimana peran politik luar negeri AS terhadap peta geopolitik Asia Pasifik dan pengaruhnya terhadap Indonesia khususnya Papua.
Sejak awal 1950-an, kehadiran militer AS di Asia Pasifik membentang dari Komando Pasifik di Hawaii yang menghubungkan pangkalan militer AS di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand hingga ke Australia dan Selandia Baru yang berbatasan dengan Papua. Bentangan lebih dari 30 pangkalan militer di 8 negara itu merupakan “garis pertahanan” AS selama Perang Dingin 1948–1991 di wilayah Pasifik.
Obama yang Lahir di Hawaii dan menghabiskan masa kecilnya di Indonesia, disebut-sebut sebagai America’s first “Pacific President” ditambah dengan wilayah Asia-Pasifik yang membentang dari benua India ke pantai barat AS telah menjadi pendorong utama politik global AS. Kini dengan visi “America’s Pacific Century” Obama kembali mengundi peruntungan Paman Sam di wilayah pasifik, bahkan dalam pidatonya di parlemen Australia 17 November 2011 lalu, Obama kembali meyakinkan bahwa AS sangat serius di pasifik. “Biarlah ada keraguan di Asia Pasifik di abad 21, kini AS disini untuk semua. Keputusan yang disengaja dan strategis: ‘AS di sini untuk tinggal,” ungkap Obama.
AS yang menganut doktrin pertahanan pertahanan global, mencegat dan memusnahkan musuh sejauh mungkin sebelum menyentuh tanah airnya, tidak hanya menggunakan hard power sebagai deterrence dengan menggelar pasukan diseluruh pangkalan militernya. Akan tetapi bergerak diruang-ruang diplomatik dengan sepenuhnya terlibat dalam institusi multilateral di kawasan itu, seperti lobi di ASEAN yang dilakukan untuk membuka jalan AS Serikat dalam upaya untuk menguasai dan memenangkan berbagai kepentingannya.
Menyambut Lepasnya Papua?
Melihat Darwin dari Indonesia memang tidak mudah, namun setidaknya kita bisa membayangkan Darwin hanya berjarak 820 km, dan dapat ditempuh selama 1,5 jam perjalanan. Selama ini marinir AS telah ditempatkan di pangkalan AS di Pulau Okinawa, Jepang dan di Guam, sekitar 2 ribu kilometer sebelah utara Papua Nugini. Jadi amat wajar jika pergeseran ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia. Walaupun AS beralasan bahwa Marinir dan Angkatan Udara AS itu dimaksudkan menjadi gugus tugas reaksi cepat operasi non-militer jika terjadi bencana alam di Australia dan kawasan sekitarnya. Memang sulit jika menilai alasan AS itu dari sudut pandang ataupun paradigma politik luar negeri “Thousand friends- zero enemy” yang dianut oleh Indonesia, karena pandangan tersebut lebih memanfaatkan pencitraan, lebih halus, ramah dan bersahabat sehingga tidak secara realistis membaca ancaman terhadap wilayah Indonesia khususnya Papua.
Posisi Darwin menjadi amat strategis dan menjadi potensi ancaman bagi Indonesia karena secara langsung berhadapan dengan Papua yang identik dengan kepentingan ekonomi AS. Misalnya sejak 2008 lalu, Indonesia telah menjadi pemasok langsung energi bagi kawasan pantai barat AS yang diambil dari Tangguh di Papua.
Papua yang belakangan kurang stabil bisa menjadi alibi bagi kepentingan asing untuk melakukan intervensi militer atas nama kemanusian. Ada adagium dalam percaturan politik dunia, di mana ada kepentingan ekonomi, maka di sana akan ada kehadiran militer. Saat ini memang militer AS tidak berada di Papua, namun jika terjadi dinamisasi konflik di Papua bisa saja militer AS melakukan intervensi atas nama kemanusiaan. AS juga bisa memberikan alasan penanggulangan bencana (penanggulangan bencana kemanusiaan tentunya yang paling relevan-red) mungkin inilah sinyalemen bahwa sebentar lagi akan terjadi bencana kemanusiaan di Papua. Semua hal ini mudah sekali dipicu, apalagi kontrol atas stabilitas keamanan di Papua kini tidak sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat.
Kita tidak boleh lupa bagaimana AS bersama Australia meng aneksasi kembali Timor – Timur setelah menitipkannya kepada Soeharto. Kini mereka berupaya mengincar Papua yang kaya dengan sumber daya alam. Berbagai upaya sedang mereka lakukan dengan secara kontinyu membuat konflik berkepanjangan di Papua. Lebaga-lembaga bantuan yang berkedok program pemberdayaan serta program pemberantasan pendemi penyakit HIV/AIDS, TBC, Malaria, sudah standby menyambut lepasnya papua, apakah ini bukan ancaman? Keretakan diplomasi antara SBY dengan Marty juga bisa mempercepat proses disintegrasi Papua.
Oleh: Jaka Setiawan[*]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya berada dalam situasi yang canggung saat menjawab pertanyaan dari seorang wartawan Australia setelah KTT ASEAN di Bali dua bulan lalu. Meskipun Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan juru bicara kepresidenan Teuku Faizasyah, telah berusaha bergerak membantu Presiden untuk menjawab pertanyaan, SBY justru bersikeras meminta bantuan dari seorang penasihat ketiga Dino Patti Djalal. “Dimana Dino? Dimana Dino? “Kata Presiden, mencari sedikit lama keberadaan Dino Patti Djalal sang ajudan terpercaya, yang sekarang menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Kemudian Dino datang ke depan untuk menjelaskan pertanyaan untuk Presiden.
Satu bulan bekemudian, ketika acara penunjukan 26 diplomat Indonesia untuk ditempatkan ke luar negeri, ada pemandangan yang cukup janggal, Marty sebagai Menlu justru terlihat berdiri di sudut belakang dalam upacara di Istana Negara Jakarta. Kejadian tersebut sontak menggelitik para wartawan dan pengamat mengenai kejanggalan tersebut.
Seorang diplomat senior yang ada di acara tersebut menggambarkan situasi itu sebagai sesuatu yang sangat jarang terjadi. Seharusnya Marty berdiri di baris depan ketika SBY mengambil sumpah para utusan baru, mengingat bahwa ia adalah atasan langsung mereka, ujar diplomat senior yang menolak disebutkan namanya. Pemandangan itu semakin memperkuat rumor bahwa keretakan itu muncul antara Marty dan SBY. Keretakan muncul setelah Marty mengatakan bahwa rencana AS untuk menempatkan 2.500 Marinir AS di Fort Robertson, Darwin Australia akan memicu “ketegangan” dan “ketidakpercayaan” di wilayah tersebut.
Presiden AS Barack Obama, yang menghadiri KTT ASEAN di Bali tak lama setelah mengumumkan rencana Darwin, dilaporkan menyatakan ketidaksukaannya dengan komentar Marty tersebut kepada SBY. Beberapa berspekulasi bahwa SBY berencana untuk mengganti Marty, dengan Dino dianggap calon terkuat penggantinya.
Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan “waktu yang buruk” bagi Yudhoyono untuk melakukan langkah pergantian tersebut, dengan asumsi bahwa rumor itu benar. “Jika dia berkeras melakukan penggantian sekarang, itu akan memicu pertanyaan besar bagi publik, terutama setelah pernyataan Obama dilaporkan tidak suka,” kata Ikar. “Ini akan membuatnya terdengar seolah-olah [SBY] adalah kroni AS, seolah-olah ia menerima pesanan politik dari AS,” tambah Ikrar.
Visi America’s Pacific Century
Pernyataan keras Marty diawal KTT ASEAN mengenai pangkalan AS di Darwin sebenarnya merupakan caranya untuk memancing atau untuk mengetahui niat sesungguhnya penempatan pasukan AS di wilayah Pasifik tersebut. Namun apa daya, SBY justru menganggap siasat Marty tersebut sebagai sebuah blunder yang memicu keretakan antara Sang Presiden dengan Menteri Luar Negerinya. Pernyataan Marty sebenarnya sangat beralasan apabila kita melihat secara historis bagaimana peran politik luar negeri AS terhadap peta geopolitik Asia Pasifik dan pengaruhnya terhadap Indonesia khususnya Papua.
Sejak awal 1950-an, kehadiran militer AS di Asia Pasifik membentang dari Komando Pasifik di Hawaii yang menghubungkan pangkalan militer AS di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand hingga ke Australia dan Selandia Baru yang berbatasan dengan Papua. Bentangan lebih dari 30 pangkalan militer di 8 negara itu merupakan “garis pertahanan” AS selama Perang Dingin 1948–1991 di wilayah Pasifik.
Obama yang Lahir di Hawaii dan menghabiskan masa kecilnya di Indonesia, disebut-sebut sebagai America’s first “Pacific President” ditambah dengan wilayah Asia-Pasifik yang membentang dari benua India ke pantai barat AS telah menjadi pendorong utama politik global AS. Kini dengan visi “America’s Pacific Century” Obama kembali mengundi peruntungan Paman Sam di wilayah pasifik, bahkan dalam pidatonya di parlemen Australia 17 November 2011 lalu, Obama kembali meyakinkan bahwa AS sangat serius di pasifik. “Biarlah ada keraguan di Asia Pasifik di abad 21, kini AS disini untuk semua. Keputusan yang disengaja dan strategis: ‘AS di sini untuk tinggal,” ungkap Obama.
AS yang menganut doktrin pertahanan pertahanan global, mencegat dan memusnahkan musuh sejauh mungkin sebelum menyentuh tanah airnya, tidak hanya menggunakan hard power sebagai deterrence dengan menggelar pasukan diseluruh pangkalan militernya. Akan tetapi bergerak diruang-ruang diplomatik dengan sepenuhnya terlibat dalam institusi multilateral di kawasan itu, seperti lobi di ASEAN yang dilakukan untuk membuka jalan AS Serikat dalam upaya untuk menguasai dan memenangkan berbagai kepentingannya.
Menyambut Lepasnya Papua?
Melihat Darwin dari Indonesia memang tidak mudah, namun setidaknya kita bisa membayangkan Darwin hanya berjarak 820 km, dan dapat ditempuh selama 1,5 jam perjalanan. Selama ini marinir AS telah ditempatkan di pangkalan AS di Pulau Okinawa, Jepang dan di Guam, sekitar 2 ribu kilometer sebelah utara Papua Nugini. Jadi amat wajar jika pergeseran ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia. Walaupun AS beralasan bahwa Marinir dan Angkatan Udara AS itu dimaksudkan menjadi gugus tugas reaksi cepat operasi non-militer jika terjadi bencana alam di Australia dan kawasan sekitarnya. Memang sulit jika menilai alasan AS itu dari sudut pandang ataupun paradigma politik luar negeri “Thousand friends- zero enemy” yang dianut oleh Indonesia, karena pandangan tersebut lebih memanfaatkan pencitraan, lebih halus, ramah dan bersahabat sehingga tidak secara realistis membaca ancaman terhadap wilayah Indonesia khususnya Papua.
Posisi Darwin menjadi amat strategis dan menjadi potensi ancaman bagi Indonesia karena secara langsung berhadapan dengan Papua yang identik dengan kepentingan ekonomi AS. Misalnya sejak 2008 lalu, Indonesia telah menjadi pemasok langsung energi bagi kawasan pantai barat AS yang diambil dari Tangguh di Papua.
Papua yang belakangan kurang stabil bisa menjadi alibi bagi kepentingan asing untuk melakukan intervensi militer atas nama kemanusian. Ada adagium dalam percaturan politik dunia, di mana ada kepentingan ekonomi, maka di sana akan ada kehadiran militer. Saat ini memang militer AS tidak berada di Papua, namun jika terjadi dinamisasi konflik di Papua bisa saja militer AS melakukan intervensi atas nama kemanusiaan. AS juga bisa memberikan alasan penanggulangan bencana (penanggulangan bencana kemanusiaan tentunya yang paling relevan-red) mungkin inilah sinyalemen bahwa sebentar lagi akan terjadi bencana kemanusiaan di Papua. Semua hal ini mudah sekali dipicu, apalagi kontrol atas stabilitas keamanan di Papua kini tidak sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat.
Kita tidak boleh lupa bagaimana AS bersama Australia meng aneksasi kembali Timor – Timur setelah menitipkannya kepada Soeharto. Kini mereka berupaya mengincar Papua yang kaya dengan sumber daya alam. Berbagai upaya sedang mereka lakukan dengan secara kontinyu membuat konflik berkepanjangan di Papua. Lebaga-lembaga bantuan yang berkedok program pemberdayaan serta program pemberantasan pendemi penyakit HIV/AIDS, TBC, Malaria, sudah standby menyambut lepasnya papua, apakah ini bukan ancaman? Keretakan diplomasi antara SBY dengan Marty juga bisa mempercepat proses disintegrasi Papua.