JAKARTA (Arrahmah.com) – Meski pada tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (Sepilis), namun gagasan liberal tampaknya belum benar-benar padam. Kemarin (13/12), beberapa tokoh Liberal memperkenalkan sebuah kelompok kajian baru. Mereka menamakan diri Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI).
“KEMI ingin memunculkan spirit bahwa umat Islam bisa berkembang. Bahwa Islam percaya kepada kebebasan berfikir dan toleran terhadap agama lain,” tandas Neng Dara Afifah selaku pengurus KEMI di Aula Student Centre UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Struktur KEMI sendiri diisi beberapa aktifis yang berperan besar atas berdirinya Jaringan Islam Liberal yakni Ulil Abshar Abdalla (Koordinator JIL) dan Luthfi Asysaukanie (Penggagas JIL). Selain dua tokoh tersebut, ada juga nama-nama akademisi seperti Budy Munawar Rachman dan Kautsar Azhari Noer.
“Pak Kautsar Azhari Noer adalah salah satu inisiator berdirinya KEMI. Sedangkan tampuk Ketua KEMI dipegang oleh Dawam Rahardjo,” tambah aktifis Komnas Perempuan ini.
Sebelumya Dawam pernah mengeluarkan statemen kontroversial. Ia mengatakan bahwa pindah agama tidak bisa divonis murtad. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan gereja-gereja di Indonesia yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, Rabu 25 Januari 2006 sebagaimana dikutip Suara Pembaruan.
Alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga terkenal sebagai tokoh pembela Ahmadiyyah. Pembelaan Dawam muncul dalam bentuk pernyataannya di situs JIL ketika ia masih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyyah.
Dia mengatakan, “Ahmadiyah sama dengan kita.. Jadi kita tidak bisa menyalahkanatau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka akidah mereka menyimpang. Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi kepercayaan mereka, mau apa? Itu ‘kan soal kepercayaan. Itu ‘kan sama saja dengan kita percaya pada Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Akibat pandangan-pandangannya yang pro terhadap Ahmadiyyah, Alumnus Universitas Gadjah Mada ini akhirnya dipecat dari Kepengurusan Muhammadiyyah. Kehadiran KEMI ke UIN Jakarta tidak lepas dari peluncuran buku ‘Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia’. UIN Jakarta yang dipilih karena dianggap sebagai embrio pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. “Disini ada Nurcholish Madjid dan Harun Nasution yang berjasa membawa pembaharuan Islam di Indonesia,” papar Neng.
Artawijaya, pengamat Yahudi, dalam salah satu presentasinya di Kajian Zionisme Internasional (KaZI), sempat mengatakan bahwa aliran dana asing ke JIL memang dihentikan. Alasannya JIL tidak berhasil masuk ke dalam masjid-mesjid untuk mengkampanyekan gagasan mereka.
Tak heran, saat ini JIL mulai ‘terbuka’ mengutarakan kondisi keuangannya dengan membuka kolom donasi pada situs mereka.
Selanjutnya, entah masih terkait atau tidak, nama KEMI mengingatkan masyarakat terhadap Novel karangan Adian Husaini yang berjudul sama, yakni Kemi. Novel tersebut menceritakan seorang santri bernama Kemi yang menjadi penyokong gagasan liberal. (eramuslim/arrahmah.com)