JAKARTA (Arrahmah.com) – Pembahasan kembali RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan ditengarai ditumpangi oleh kekuatan modal asing yang memiliki kepentingan tertentu. Dugaan adanya kepentingan asing dibalik RUU Tembakau tersebut karena RUU itu bukan berasal dari keinginan masyarakat, melainkan pemodal asing.
“Dibalik semua itu bukan semata-mata isu kesehatan, ekonomi ataupun tenaga kerja, namun ada kekuatan ekspansi modal luar yang cukup besar dengan segala kepentingannya,” jelas Ketua DPD PKB Jateng, Abdul Kadir Karding, pada Sabtu (1/5). Menurutnya, seluruh elemen harus cermat dalam menyikapi isu ini. Pasalnya, dampak pemberlakuan regulasi ini akan sangat merusak perekonomian.
Sumbangan cukai pada APBN mencapai Rp 54 triliun per tahun dan regulasi itu harusnya bersifat melindungi. Apalagi, tambah Karding, ada sekitar 50,3 juta orang yang menggantungkan hidupnya di sektor ini. Mulai dari hulu hingga hilir. Jumlah perusahaan rokok di Indonesia pun mencapai sekitar empat ribu perusahaan dengan jutaan tenaga kerja.
Alasan kesehatan dibalik RUU ini bagi kami sangat tidak tepat. “Tidak ada argumentasi yang kuat atas hal itu,” ujar Kadir dalam seminar yang juga menghadirkan pembicara Nurtantio Wisnu Brata (Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Jateng), Wiyono (Ketua DPC KSPSI Kudus), serta KH Mahfud Ridwan (Pengasuh Ponpes Edy Mancoro).
Sementara itu, Ketua DPC KSPSI Kudus, Wiyono. Menurutnya, RUU Tembakau masih memiliki banyak kelemahan, diantaranya tidak sinergi dengan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Dari fakta ini ia lebih sepakat dengan Karding yang menuding ada skenario besar dalam perjalanan RUU ini “Jika diberlakukan, yang hancur adalah para petani dan buruh di tingkat bawah,” jelasnya.
Terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng, Nurtantio Wisnu Brata mengatakan, pembahasan RUU Tembakau sebaiknya tidak usah dilanjutkan. Ia menilai, Peraturan Pemerintah (PP) No.19/ 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan masih relevan untuk pengendalian terhadap produk tembakau.
“PP itu masih relevan digunakan, tetapi mengapa sekarang muncul Rancangan PP tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan seolah rokok ini narkoba,” jelasnya. Ia menambahkan, PP No.19/2003 bisa melindungi dua kepentingan, yakni pihak perokok maupun yang antirokok.
Pasalnya, dalam PP tersebut telah mengatur tentang pembatasan jam tayang iklan rokok pada media elektronik, serta larangan penampilan wujud rokok atau orang sedang merokok dalam tiap iklan rokok. Selain itu, larangan promosi dengan memberikan secara cuma-cuma atau hadiah, pencantuman kadar tar dan nikotin pada tiap kemasan produk, dan penetapan kawasan antirokok.
Menurut dia, isi Rancangan PP tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan, sangat ektrem dan memberatkan industri hasil tembakau karena melarang hampir semua aktivitas industri tembakau seperti iklan, promosi, dan sponsor. “Jika RPP tersebut diberlakukan, maka dari aspek sosial akan mengancam kelangsungan hidup puluhan juta tenaga kerja terkait rokok dari hulu sampai hilir,” tegasnya. (rep/arrahmah.com)