JAKARTA (Arrahmah.com) – Untuk mencegah terorisme, aturan yang mewajibkan pengunjung warnet mengisi identitas harus kembali ditegakkan. Kriminolog menilai internet masih menarik bagi teroris.
Kriminolog Adrianus Meliala menilai jika dibandingkan dengan menggunakan ponsel, internet masih paling menarik bagi teroris. Alasannya, setiap kali berhubungan atau berkomunikasi, akan ada upaya lebih keras dari kepolisian untuk mencari tahu IP atau internet protokolnya.
“Dalam hal ini jika kepolisian tidak dapat melacak internet protokolnya, maka akan ada waktu bagi teroris itu untuk lari,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, kemarin. Adrianus mengatakan, ke depan cybercrime harus senantiasa diperhatikan.
Ia mensinyalir penggunaan internet sebagai media komunikasi oleh teroris akan semakin tajam. “Berbagai situs ditengarai mendorong aksi terorisme, perekrutan dan penggalangan dana teroris juga bisa digunakan oleh mereka sebagai alat bantu,” imbuhnya.
Sekjen IDTUG (Indonesia Telecommunications Users Group) Muhammad Jumaidi menawarkan, untuk pencegahan terorisme aturan agar pengunjung warnet mengisi daftar identitas diri harus kembali digalakkan.
Aturan itu terdapat di peraturan Menkominfo yang menyebut setiap pengunjung harus mendaftarkan diri setiap kali menggunakan jasa warnet. “Pendaftaran seperti ini kan bisa mencegah teroris ini. Teroris mau ke warnet karena apa? Karena menurut mereka warnet itu aman,” imbuhnya.
Warnet, menurutnya, dipakai banyak orang sehingga para teroris bisa merasa diselubungi oleh keramaian. Dengan adanya list pengunjung, tentu bisa mencegah teroris merasa aman di warnet.
Tapi Jumadi mengakui aturan itu sulit dijalankan di lapangan dan hal itu sebagai salah satu kekurangan pemerintah. Ia menilai pemerintah membuat peraturan, tapi lemah saat implementasi dan pengawasan.
“Kebijakan pemerintah itu pada dasarnya bagus. Asalkan bisa didukung semua pihak terkait. Tapi sekarang apa? Banyak lembaga yang seharusnya terkait malah jalan sendiri-sendiri kan?” katanya.
Seorang pengguna warnet di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nabil 27 tahun menilai sulit untuk mengetahui siapa yang teroris dan siapa yang bukan. “Setelah ada kejadian penangkapan teroris di Pamulang, saya tidak melihat ada perubahan signifikan di warnet sekitar kampus UIN, semuanya berjalan normal,” ujarnya.
Ia mengatakan tidak masalah jika Permenkominfo menyangkut warnet ditegakkan. “Saya setuju jika memang ada daftar hadir, meskipun tidak semua orang mau mengisi, tapi jika dilaksanakan minimal bisa mengurangi kekhawatiran masyarakat akan bahaya terorisme,” terang Nabil.
Sementara Nurgi pemilik warnet di sekitar Kampus UI Depok menyatakan tidak pernah melakukan pencegahan menyangkut terorisme. “Mereka (teroris) berbuat sesuatu, merugikan orang lain pasti ada alasannya. Ini menyangkut ideologi sama pandangan hidup orang. Jadi logikanya, ngapain mereka berbuat jahat di warnet. Meskipun iya datang ke sini, ya sudah, mau gimana lagi. Nggak semua orang bisa diteliti satu persatu. Dan nggak berguna untuk liatin mereka satu-satu,” katanya.
Ia mengaku tidak pernah mendapat pengarahan pencegahan terorisme. Namun ia mengaku lebih takut pada teroris daripada didatangi polisi yang akan melakukan razia software bajakan.
“Kalau razia (software bajakan) nggak langsung ditangkap. Ada surat peringatan selama 1 minggu. Kalau nggak segera ganti, baru deh. Kalau teroris kan lebih menakutkan. Kalau tiba-tiba dia membahayakan gimana? Orang yang seperti ini nggak bisa kita prediksiin,” katanya.
Adrianus Meliala menilai untuk mencegah teroris memanfaatkan internet ia menyarankan tidak hanya ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Responses Team on Internet Infrastructure) tapi pihak kepolisian juga proaktif bekerjasama dengan lembaga IT terkait.
Menurutnya pihak berwenang tidak hanya menunggu laporan, tapi mengatur lalu lintas internet sekaligus mengawasinya. “Dunia internet dunia yang bebas, tapi juga harus diawasi, sepanjang cara dan intensitasnya berimbang, saya pikir pihak yang membela human rights akan menerima,” tegas Adrianus. (ini/arrahmah.com)