Nejoud al-Ashqar adalah seorang ibu berusia 30 tahun di kota utara Jalur Gaza, Beit Lahiya. Dua orang putranya, Bilal (5) dan Mohammad (6) tewas saat invasi Israel ke Gaza musim dingin thaun lalu. Perempuan itupun kehilangan satu lengannya akibat serangan.
Dikelilingi tetangga serta putra dan putrinya yang paling bungsu, ia mulai bercerita. “Saya ingat sekali waktu itu pesawat tempur Israel menjatuhkan selebaran, memerintahkan warga untuk menjauh. Dan saat itu yang paling saya khawatirkan adalah anak-anak saya. Saat itu kami semua meninggalkan rumah dan menuju ke pengungsian dekat sekolah UNRWA (badan PBB untuk pengungsi Palestina),” al-Ashqar menjelaskan.
Ibu yang berduka itu menambahkan, “Kami menghabiskan malam-malam pada awal Januari dalam bangunan sekolah di tengah-tengah pemboman brutal Israel dan rasa takut. Yang saya pikirkan saat itu hanya bagaimana saya bisa melindungi anak-anak saya, karena saat itu beberapa pecahan rudal beterbangan di sekitar kami. Saya mulai menutupkan selimut di atas wajah mereka karena takut mereka akan terluka oleh pecahan peluru.”
Kemudian, sekolah milik UNRWA tempat keluarga itu tinggal menjadi sasaran brutal pemboman Israel di suatu pagi. “Saya mendengar orang-orang yang ada di dekat saya berteriak: Ambulans! Ambulans! Saya sadar wajah saya sudah berlumuran darah dan saya mulai berteriak dan memanggil nama anak-anak.”
Kepala dan lengan kanannya terluka parah oleh tembakan Israel dan ia langsung dibawa ke rumah sakit setempat. Karena luka kritis, kemudian ia dipindahkan ke rumah sakit Mesir.
“Di rumah sakit di Kairo, saya memperoleh perawatan intensif selama 20 hari, selama itu saya tidak menyadari kehidupan di sekitar saya. Selama saya tinggal di sana, saya tidak diberitahu tentang kondisi kedua putra saya yang sangat saya khawatirkan,” ia menjelaskan disertai emosi.
Al-Ashqar menambahkan, “Setelah saya kembali dari Kairo, saya diberitahu tentang kematian anak-anak saya dan sejak itu saya mulai tidak bisa tidur saat malam datang. Setiap malam saya dan suami saya melihat foto-foto mereka di rak di kamar tidur dan saya membaca beberapa ayat dari Quran.”
Dia mengatakan “Seandainya saya tahu Bilal akan pergi, seandainya saya tahu! Bilal sering meminta 1 shekel ($ 25) tiap kali akan berangkat sekolah, tapi kadang-kadang saya tidak mampu untuk memberinya karena kami situasi keuangan yang buruk. Saat saya tidak mampu memberinya 1 shekel, saya janji kepadanya bahwa hari berikutnya akan saya berikan. Dan saya berharap bahwa saya akan memberinya semua shekel yang ada di dunia ini!”
Madline, adik dari Bilal dan Mohammad, bertanya “Saya bermain dengan siapa sekarang?” Dia berdiri di kamar tidur kakak-kakanya. “Saya biasanya bermain dengan Bilal dan Mohammad di taman dan di kamar tidur ini.”
Sepupu Madline, Mahmoud (15), menjelaskan bahwa mereka sekeluarga biasa mengadakan perjalanan ke pantai. Dia menambahkan, “Bilal dan Muhammad adalah sepupu saya, namun saya sering merasa mereka adalah adik saya. Mereka sangat lucu dan tidak pernah bisa diam, dan kami biasa menikmati perjalanan kami ke pantai.”
Sambil menggenggam foto Muhammad, al-Ashqar meratap, “Setiap malam, saya terus memandangi foto-foto mereka dan mencium mereka sebelum saya tidur, seperti yang biasa saya lakukan ketika mereka masih hidup.” (althaf/arrahmah.com)