JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ali Mustafa Yaqub, MA mengaku heran dengan alasan beberapa kelompok yang mewacanakan RUU Peradilan Agama yang mengatur masalah nikah siri, kawin kontrak, dan poligami.
Menurut pakar ilmu hadist yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal ini, beberapa kelompok yang mengajukan draf RUU itu menilai, nikah siri sangat merugikan perempuan. Padahal, tak semua kaum perempuan mengaku seperti itu.
“Siapa bilang merugikan perempuan? Banyak juga yang minta “nikah siri” itu perempuan. Artinya tetap menguntungkan kedua belah pihak. Jadi tidak dapat diterima argumen seperti itu,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Mustafa meragukan alasan-alasan aneh berbagai kalangan. Menurutnya, jika niatnya baik, maka, seharusnya RUU itu sifatnya mempermudah warganya. Bukan mempersulit, apalagi menghukum orang yang tergolong beribadah.
Ia juga heran dengan alasan kelompok pengusul RUU ini, yang menyebutkan ada sekian juta anak-anak lahir dari pernikahan yang tidak tercatat.
Sebagaimana diketahui, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar sebelum ini menegaskan bahwa wacana mempidanakan nikah tak tercatat tersebut untuk meminimalisir angka perceraian dan penyelewengan dalam pernikahan. Alasannya, ia telah menemukan, 48 persen dari 80 juta anak yang lahir dari proses perkawinan yang tidak tercatat.
“Itu sekitar 35 juta anak. Konsekuensinya, mereka akan sulit mendapatkan surat lahir, kartu penduduk, hak-hak hukum, seperti hak waris dan masih banyak lagi,“ kata Nasaruddin.
Selain itu ia juga mengungkapkan, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200 ribu perceraian. “Masalah-masalah seperti ini tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus,” tambah Nasaruddin.
Namun Mustafa Yakub menolak alasan aneh ini. Mustafa juga mempertanyakan dari mana data itu diperoleh. Sebab, yang namanya juga nikah siri ya tak tercatat, alias pasti tak bisa terdata.
“Lho kok tahu, sementara “nikah siri” kan tidak dicatat. Jadi tidak dapat diketahui,” tambahnya. “Kalau memang tujuannya untuk kemaslahatan masyarakat, ya harus dipermudah. Misalnya, ada saksi. Saksi itu berfungsi juga untuk pembuktian. Dan pembuktian tidak harus selalu di atas kertas.”
Sementara itu Menteri Agama Suryadharma Ali mengakui, ada suatu kebutuhan untuk mengatur masalah nikah siri, poligami, kawin kontrak, dan sebagainya dalam suatu Undang-Undang. Hanya saja, kapan itu dilaksanakan masih belum jelas.
“Ada kebutuhan untuk itu. Tapi seperti apa dan kapan, belum bisa saya sampaikan. Karena kan harus ada RUU-nya dan RUU itu harus dibahas berdasarkan kajian akademis dan masukan dari berbagai pihak dan harus ada pembahasan secara antardepartemen,” tegas Menag Senin (22/2).
Apapun alasan pemerintah dan pihak pengusul RUU ini, Mustafa tetap menghargai. Namun baginya, jika niatnya baik, seharusnya tak mengusulkan hal-hal aneh, apalagi memenjarakan orang yang menikah. Sebab ia membandingkan dengan orang yang melacur, berzina, dan melakukan seks bebas saja, tak diberlakukan UU yang bisa dipenjara.
“Jadi kalau memang tujuannya untuk melindungi masyarakat, ya itu saja dipermudah. Sebab banyak yang melakukan “nikah siri” gara-gara biaya mahal. Jadi kalau sampai “nikah siri” dipidanakan, nanti bisa-bisa yang marak pelacuran,” ujarnya menutup pembicaraan. [hidayatullah.com]