BANDUNG (Arrahmah.com) – Lili Amalia adalah wanita ironis. Alih-alih memenuhi kebutuhan ekonomi yang sangat menesak, Amalia melakukan amaliyah yang tidak terpuji berupa pencurian di masjid Baitul Ruhiyat Komplek Bahagia Permai, Buahbatu, Bandung (25/9/2009). Al-Qur’an yang seharusnya dikaji dan diamalkan dalam kehidupan bukannya dibaca, malah dicurinya. Wanita berusia 33 tahun ini tak peduli meski dalam Al-Qur’an jelas-jelas mengharamkan pencurian dengan ancaman hukuman keras.
Selain Al-Qur’an, Amalia juga mencuri beberapa buku, antara lain: Ensiklopedia Al-Qur’an, Syaamil Al-Qur’an, Terjemahan Nailul Authar, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Ringkas Hadist Shahih Al-Bukhori, buku Musa vs firaun, buku Tokoh-tokoh yang diabadikan Al-Qur’an, Bulughul Maram, dan Tafsir Fi Zhilalil Quran.
Modus pencurian dilakukan Amalia dengan berpura-pura menjadi jemaah masjid yang akan numpang shalat. Setelah dirasa aman, ia mencongkel paksa lemari masjid dengan obeng yang telah disiapkannya.
Karena tidak punya pengalaman mencuri, aksi pertamanya itu dipergoki pengurus masjid, sehingga Al-Qur’an itu tak jadi dibawa pulang. Justru Amalia yang digelandang ke kantor polisi, dijerat dengan pasal 363 ayat 1 ke 5 KUHPidana tentang pencurian disertai pemberatan. Ia terancam hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Akhirnya, Selasa (12/1/) kemarin, Lili Amalia divonis 6 bulan kurungan oleh PN Bandung karena terbukti melakukan tindak pidana pencurian.
Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim Arifin SH, menuturkan, terdakwa terbukti melanggar pasal 363 dan memvonis hukuman enam bulan penjara. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Emannuel Ahmad, di Bandung menuturkan, sebelumnya jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 10 bulan penjara. Namun, hal tersebut diringankan karena terdakwa belum menikmati hasil perbuatanya.
“Yang meringankan terdakwa adalah didorong dengan kebutuhan hidup dan terdakwa belum menikmati hasil perbuatannya. Massa hukuman tersebut dikurangi massa penahanan November 2009,” tuturnya.
Vonis 6 bulan terhadap Lili Amalia, pelaku pencurian buku ini dinilai ironis. Sebab, sebulan sebelumnya, tepatnya 15 Desember 2009, PN Bandung hanya menghukum tiga polisi berpangkat brigadir 2 bulan 20 hari. Mereka terbukti nyabu di asrama polisi pada 29 September 2009.
“Ini ironi penegakan hukum,” ujar Pengamat Hukum dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf di Bandung, Rabu (13/1).
Menurut Asep, seharusnya hakim bukan semata-mata corong undang-undang. Hakim tak boleh mengenyampingkan nilai keadilan di tengah masyarakat. Hakim menurutnya, harus progresif dan responsif.
“Pencurian memang salah, tapi harus dilihat juga apa alasan pelaku melakukannya, bagaimana mencurinya, apa yang dicurinya. Jangan hanya melihat akibat dari hukumnya, tapi hakim harus pakai hati nurani juga. Hakim harus tahu hukuman apa yang pantas dikenakan pada pelaku,” tandasnya.
Lebih rendahnya vonis tiga polisi yang nyabu dibandingkan kasus Lili yang mencuri Quran, menurutnya sangat ironis. “Perbuatan nyabu pasti dilakukan dengan sadar, dan harusnya vonisnya lebih berat agar ada efek jera. Apalagi ini dilakukan oleh aparat negara,” katanya.
Para Hakim Sudah Lupa Pelajaran Sosiologi Hukum
Ketimpangan hukum yang sangat ironis itu terjadi karena aparat penegak hukum tidak menerapkan asas-asas sosiologi hukum.
Sejatinya kasus-kasus di atas bisa ditangani dengan baik tanpa menciderai rasa keadilan publik, apabila hakim serta aparat penegak hukum lainnya, memahami konsep sosiologi hukum.
“Tidak bisa satu kasus pencurian disamakan dengan kasus pencurian lain, meski pasal yang digunakan untuk menjerat sama. Harus ada disparitas,” tegas pakar sosiologi hukum Universitas Indonesia (UI) Heri Tjandrasari di Jakarta.
Disparitas yang dimaksud Sari adalah pertimbangan latarbelakang terjadinya tindak pidana. Apakah pelaku melakukan kejahatan karena faktor himpitan ekonomi atau tidak, serta motif-motif lain.
Dampak dari kejahatan juga harus dihitung, apakah merugikan satu korban dengan kerugian berskala kecil, atau merugikan publik dengan kerugian miliaran rupiah. “Pelakunya itu sudah biasa mencuri atau mencuri karena terpaksa,” terangnya.
Sari menyebut, mayoritas aparat penegak hukum di Indonesia masih bersikap legistis, hanya berpegang pada teks UU saja tanpa mempertimbangkan aspek sosiologi hukum. Akibatnya wajah hukum menjadi beringas bagi rakyat jelata. Keadaan di atas, masih diperparah dengan merajalelanya mafia peradilan.
“Hati nurani aparat penegak hukum harus disadarkan kembali dan mereka perlu belajar sosiologi hukum lagi,” sarannya. (voa-islam/arrahmah.com)