LONDON (Arrahmah.com) – Seorang tentara perempuan Inggris diseret ke pengadilan atas tuduhan merendahkan dan melecehkan tahanan Irak secara seksual. Tuduhan itu merupakan salah satu dari serangkaian klaim mengenai kekerasan yang dilakukan pasukan Inggris di Basra, The Times melaporkan pada Sabtu (2/1).
Lima mantan tahanan Irak telah membuat tuduhan spesifik terhadap seorang interogator perempuan yang mereka kenal bernama “Katy”.
Kasus tersebut merupakan salah satu di antara 14 kasus baru yang ditimpakan pada unit introgasi rahasia militer Inggris. Kasus ini pun menjadikan total kasus yang dilaporkan oleh mantan tahanan Irak ke pengadilan Inggris menjadi 40 kasus.
Pelecehan seksual secara rutin dilakukan oleh Tim Intelejen Gabungan (JFIT) antara tahun 2003 hingga 2007 saat unit ini menjalankan Fasilitas Penahanan Sementara yang berbasis di pangkalan logistik Shaibah di dekat Basra. Di antara tuduhan terdapat satu kasus perkosaan laki-laki.
Interogator itu pun dituduh melakukan praktek pemaksaan yang melanggar hukum Inggris, termasuk mengancam, menggunakan kekerasan, menyebabkan tahanan menderita stres, pengurangan waktu tidur, menutupi kepala tahanan, hingga memberikan ancaman untuk melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap keluarga tahanan.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan kepada The Times bahwa semua tuduhan-tuduhan itu sedang diselidiki. Namun, pengacara dari kelompok hak asasi manusia Kepentingan Umum Undang-undang sedang menjalani proses judicial review atas semua kasus tersebut, dengan alasan bahwa otoritas militer Inggris tidak dapat diandalkan untuk menyelidiki mereka tanpa memihak.
Phil Shiner, pengacara untuk lima mantan tahanan, menjelaskan dalam sebuah surat pernyataan kepada Bob Ainsworth, Sekretaris Pertahanan.
“Bentuk-bentuk perlakuan buruk yang diderita oleh penggugat meliputi pemukulan, kekurangan makanan, pemberian suhu dingin dan panas yang berlebihan, ancaman pemerkosaan dan kekerasan, penghinaan seksual dan kurungan,” kata Shiner dalam suratnya. “Secara khusus, bukti-bukti itu membuktikan bahwa ada penggunaan teknik interogasi koersif yang tentu saja melanggar hukum yang telah ditentukan oleh MahkamahHak Asasi Manusia Eropa.”
“Kasus-kasus pelecehan seksual atau sejenisnya muncul dalam sebagian besar penjelasan klien saya. Ada laporan mengenai pemerkosaan laki-laki, melalui pemaksaan praktek pornografi, dan berbagai macam pelecehan seksual lainnya,” ujar Shiner.
Di Basra, kemarahan atas perlakuan tidak manusiawi tentara asing terhadap tahanan ini terus bergejolak dan para pemimpin lokal mengklaim bahwa hal itu menyebabkan banyak rakyat yang tak berdosa menjadi radikal dalam penjara.
“Kami mendengar tentang banyak kasus warga Basra ditangkap meskipun mereka tidak bersalah,” kata Awath al-Abdan, tokoh masyarakat sekaligus politikus. “Orang-orang ini menderita penyiksaan terburuk dan penghinaan serta kata-kata kotor.”
Dia menambahkan bahwa banyak kelompok telah terbentuk di dalam pusat penahanan dan tahanan bergabung dengan mereka. “Inggris tidak melakukan apa pun untuk menghentikan ini, meskipun mereka menyadari hal itu,” katanya.
Seorang tahanan berkata, “Hal itu membuat perasaan ingin balas dendam saya muncul dan rasa dendam itulah yang menyebabkan saya sadar untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang Barat dan bergabung dengan jihad. Tidak ada pilihan lain. Dan itulah sebabnya saat Inggris dihantam mortir dan rudal, anda tidak akan pernah menemukan satu orang pun yang merasa keberatan.”
Pada bulan November Pemerintah Inggris memerintahkan Pengadilan Al-Sweady memporses tuduhan penyalahgunaan hukum oleh pasukan Inggris dalam membunuh para tahanan, termasuk juga di dalamnya terdapat penyelidikan dugaan penyimpangan di pangkalan logistik Shiabah antara Mei dan September 2004.
Bill Rammell, Menteri Angkatan Bersenjata Inggris, mengklaim dalam sebuah pernyataan bahwa dari 120.000 tentara Inggris yang bertugas di Irak, hanya segelintir orang melanggar standar dan aturan Inggris.
Rammell mengatakan akan menindak serius gugatan tersebut, tapi menurutnya, “Hal-hal semacam ini tidak boleh dijadikan sebagai fakta dan hanya perlu penyelidikan formal yang dibiarkan untuk mengurus kasus tersebut tanpa dicampuri penilaian yang dibuat sebelum waktunya.” (althaf/timesol/arrahmah.com)