JAKARTA (Arrahmah.com) – Meski tiap tahunnya diperingati hari HIV/AIDS, namun jumlah penderitanya tak berkurang. Justru semakin meningkat signifikan. Data terakhir menunjukkan 298 ribu penduduk Indonesia hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Tragisnya, mayoritas dari golongan kaum muda. Menurut psikolog Elly Risman tren peningkatan penderita HIV/AIDS itu sebenarnya telah dikatakan badan WHO ke pada Indonesia sekitar lima tahun silam. “Indonesia sudah diprediksi pada tahun 2009 akan panen HIV/AIDS,” ujar Elly. Sayang, secara nasional mengabaikan ancaman itu. Pemerintah tidak mampu mencegah laju peningkatan penyakit tersebut.
Hal itu diperparah indonesia yang berasaskan HAM. Atas nama HAM kemudian banyak orang tidak malu berbuat sesuka hati mereka. Seks bebas, homoseksual dan sebagainya. Padahal, menurut Elly, HIV/AIDS penularannya sangat berpotensi dari situ. Tak hanya itu, Indonesia yang hingga kini ditengarai tempat suburnya peredaran narkoba, Elly mengistilahkan Daerah Tempat Narkoba (DTN) juga menjadi pemicu meningkatnya HIV/AIDS. Begitu juga Indonesia sebagai Daerah Tempat Wisata (DTW).
Meski demikian, Elly berpendapat ada tiga hal penyebab timbulnya HIV/AIDS. Yakni, pornografi, narkoba dan musik. Ketiga hal tersebut terutama dialami para anak muda. Apalagi yang minim bimbingan dan asuhan dari orangtua.
“Pertama mereka akan terlena mendengar musik, kemudian mengonsumsi narkoba dan selanjutnya seks bebas,” ungkapnya kepada www.hidayatullah.com. “Apalagi, jika mereka (anak-anak, red) banyak memiliki waktu kosong, akan sangat berpotensi melakukan hal tersebut,” imbuhnya.
Menurut Direktur Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati ini, mencegah HIV/AIDS dibutuhkan cara yang cukup kompleks. Tidak hanya tergantung peran pemerintah, yang terpenting adalah ketahanan orangtua.
“Orang harus betul dalam mengasuh anak, jangan sampai salah pengasuhan,” jelasnya. Meski demikian, peran pemerintah juga sangat penting. Kesalahan yang dilakukan pemerintah selama ini adalah pencegahan HIV/AIDS yang secara parsial tidak integrated.
Dia mencontohkan, dulu di pedesaan ada namanya “lingkaran biru” atau KB (Keluarga Bahagia) yang sejatinya adalah salah satu upaya pencegahan HIV/AIDS. Program yang diadakan di pedesaan itu biasanya melibatkan aparat desa. Sedang di masyarakat kota diperkenalkan alat kontrasepsi. Dan kemudian, untuk mencegah HIV/AIDS dengan cara “kondomisasi” atau pembagian kondom gratis. Sejak sepuluh tahun upaya kondomisasi dilakukan, penderita HIV/AIDS justru semakin banyak. Sebab, kondomisasi seolah menyuruh orang untuk melakukan seks secara bebas. Alih-alih mencegah, justru mengkampayekan.
Dalam mencegah HIV/AIDS, Elly berpendapat, seharusnya pemerintah melakukan integrated social marketing campaign (kampaye yang berbasis masyarakat dengan mengintegrasikan seluruh elemen). Baik Dinas Pendidikan (Diknas), Departemen Agama (Depag), BKKBN, maupun ormas Islam, NU dan Muhammadiyah. Masing-masing elemen itu bersinergi bukan bergerak secara parsial.
“Selama ini kan terkesan masing-masing elemen bergerak sesuai dengan arogansi sektoral saja,” tegasnya.
Lalu, jika semua elemen telah terintegrasi, baru kemudian melakukan social marketing campaign tentang pencegahan HIV/AIDS. Di antaranya membangun awarness (kesadaran) bahaya HIV/AIDS ke pada masyarakat. Kemudian, memberikan knowledge (pengetahuan) cara pencegahan dan menghindari HIV/AIDS dan mengubah attitude (perilaku) sehingga menjadi skill. (hidayatullah/arrahmah.com)