JAKARTA (Arrahmah.com) – Salah satu sesepuh kaum liberal negeri ini, Djohan Effendi, merasa pesimistis akan terwujudnya kebebasan beragama di Indonesia. Hal itu disampaikannya pada acara peluncuran dua buku barunya, yang sekaligus perayaan ulang tahun Djohan yang ketujuh puluh, di Wisma Serbaguna, Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (6/10) malam.
“Merayakan kebebasan beragama di Indonesia masih jauh. Belum saatnya,” ujar Djohan mengomentari judul buku barunya “Merayakan Kebebasan Beragama”. Buku lainnya yang diluncurkan malam itu, biografi Djohan berjudul “Sang Pelintas Batas”.
Djohan mengatakan, tantangan pluralisme dan kebebasan beragama begitu besar. Tantangannya, kata Djohan, bukan hanya bersifat verbal, tapi juga fisik.
Perusakan rumah ibadah pengikut ajaran nabi palsu Ahmadiyah, menjadi contoh kasus yang diangkat Djohan malam itu. Dia juga membacakan surat para pengungsi Ahmadiyah kepada Walikota Mataram, yang disebutnya sebagai jeritan hati.
Usai acara, hidayatullah.com sempat bertanya kepada Djohan, apakah dia pesimistis soal terwujudnya kebebasan beragama dan paham pluralisme di Indonesia? “Iya. Kalau hukum belum ditegakkan, ya, seperti itu,” katanya.
Djohan mengaku tidak bisa mengira kapan impiannya itu akan terjadi. Dia juga pesimistis hal itu bisa diwujudkan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih saat ini. Namun Djohan tidak menampik dirinya berharap masih hidup di dunia untuk menyaksikan cita-citanya itu.
Sejumlah tokoh hadir dalam acara tersebut, seperti Abdurrahman Wahid, para tokoh berbagai agama, semisal HS Dillon, Frans Magniz Suseno, dan sejumlah biksu. Aktivis-aktivis liberal seperti Musdah Mulia dan Nong Darol Mahmada juga tampak hadir.
Sebelumnya, acara yang diprakarsai Indonesian Conference on Religion and Peace ini juga menggelar jumpa pers. Mereka membacakan rekomendasi hasil Konferensi Nasional Lintas Agama ICRP yang berlangsung pada 5-6 Oktober 2009. Isinya adalah tuntutan agar pemerintah meninjau ulang perda-perda berbau syariah di negeri ini. (hdytlh/arrahmah.com)