Syiah meyakini adanya dua belas imam yang menjadi penerus kenabian. Bagi
syiah, masalah imamah sudah tidak bisa ditawar lagi, karena siapa saja yang
menolak beriman pada salah satu saja dari dua belas imam itu maka dia
divonis menjadi kafir. menolak beriman pada salah satu imam saja sudah kafir
–apalagi menolak beriman pada kedua belas imam tersebut-. Karena yang
menolak dianggap kafir, maka sudah tentu masalah imamah ini merupakan pokok
yang terpenting bagi mazhab syiah. Begitu juga para imam memiliki kedudukan
yang sangat penting bagi syiah. Sudah tentu penting, karena syiah meyakini
bahwa para imam adalah penerus kenabian. barangkali pembaca bertanya-tanya
apakah syiah meyakini bahwa misi kenabian Nabi Muhammad belum selesai
sehingga masih diperlukan penerus lagi? Tetapi inilah keyakinan syiah.
Syaikh Muhammad Ridha Muzhaffar dalam kitab Aqaidul Imamiyah –yang berisi
keyakinan mazhab syiah imamiyah- pada halaman 66 mengatakan bahwa imam
adalah penerus kenabian. karena para imam adalah penerus kenabian, sudah
tentu memiliki sifat-sifat “linuwih” kelebihan yang membuat para imam
berbeda dengan kita-kita. Boleh jadi pembaca yang kebetulan syiah akan merah
telinganya ketika imamnya dibandingkan dengan kita-kita. Ok lah, supaya para
imam berbeda dengan para sahabat Nabi yang merampas hak khilafah secara
tidak berhak –ini sesuai dengan pendapat syiah-. Jika imam sama dengan para
sahabat Nabi, maka bisa jadi sahabat yang menjadi imam, karena tidak ada
perbedaan antara mereka. maka akal mengharuskan adanya perbedaan antara imam
dan orang biasa.
Kembali kita simak syaikh muhammad ridha muzhaffar dalam kitabnya di atas
pada halaman 67: kami meyakini bahwa imam adalah sama seperti Nabi, harus
memiliki sifat yang sempurna dan menjadi yang terbaik dari seluruh manusia.
Lalu mana dalil dari Al Qur’an? Semestinya dalam Al Qur’an telah disebutkan
hal di atas, karena imam sama dengan Nabi. Tetapi sampai saat ini saya belum
menemukan satu ayat pun yang menerangkan adanya imam yang menjadi penerus
para Nabi. Jika dalam Al Qur’an termaktub bahwa Allah mengutus para Nabi,
dan memang Allah menjadikan imam sebagai penerus Nabi, mestinya hal itu
disebutkan dalam Al Qur’an. kita lihat Al Qur’an banyak sekali memuat ayat
yang memerintahkan kita beriman pada Nabi. Tetapi saya belum menemukan ayat
yang menyuruh kita beriman pada imam. Yang ada malah ayat yang menyuruh kita
berdoa pada Allah minta dijadikan imam bagi orang bertaqwa:
*Dan orang-orang yang berkata:”Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. 25:74)*
Apakah mungkin kita diminta untuk menjadi penerus para Nabi yang memiliki
sifat “linuwih”? jika demikian maka jumlah imam tidak bisa dibatasi dengan
dua belas.
Kita kembali ke pembahasan inti kita, yaitu para imam memiliki sifat
“linuwih” kelebihan. Lalu apa kelebihan para imam syiah yang dua belas?
Tidak ada kitab ahlussunnah yang menerangkan kelebihan dua belas imam syiah.
Karena tidak ada, terpaksa kita meng”explore” kitab syiah lagi.
Saya ucapkan selamat pada pembaca karena dengan membaca makalah ini anda
beruntung membaca riwayat-riwayat yang tidak bisa dibaca oleh banyak orang.
Bahkan penganut syiah sendiri belum tentu pernah membaca riwayat-riwayat di
bawah ini.
Salah satu sisi kelebihan para imam adalah dari sisi keilmuan. ilmu para
imam lebih dari ilmu manusia seluruhnya. Jika ilmu para imam sama dengan
ilmu para sahabat Nabi –misalnya- maka apa bedanya para imam dan sahabat
Nabi?
Riwayat dari kitab Al Kafi jilid 1 hal 192, dari Abu Ja’far mengatakan: kami
adalah wali perintah Allah, kami adalah pembawa ilmu Allah dan penyimpan
wahyu Allah.
Sepertinya Allah dianggap memerlukan para imam untuk menyimpan ilmuNya, jadi
harus “dititipkan” pada para imam syiah. Para imam menyimpan ilmu Allah
berarti para imam mengetahui segala sesuatu tanpa batas. Karena ilmu Allah
tidak ada batasannya. Bahkan dalam Al Qur’an ilmu Allah sebegitu luas
sehingga jika ditulis dengan tinta sebanyak tujuh lautan masih kurang.
Sebegitulah ilmu para imam. Ini jelas menyamakan antara imam dengan Allah,
karena ilmu Allah dianggap sama dengan ilmu para imam. Lalu bagaimana dengan
para Nabi? Jelas para Nabi tidak menyimpan segala ilmu Allah, para Nabi
adalah manusia biasa yang diutus oleh Allah utnuk menyampaikan risalahNya
kepada manusia. Segala tindakan Nabi dituntun oleh wahyu yang turun pada
mereka. maka sudah jelas para Nabi tidak memiliki ilmu Allah, tidak
mengetahui apa yang Allah ketahui. Berbeda dengan para imam yang menjadi
tempat simpanan ilmu Allah, artinya mereka mengetahui apa saja yang Allah
ketahui, ilmu mereka sama dengan ilmu Allah. Jika memang demikian mestinya
yang diutus oleh Allah bukannya Nabi tetapi imam. Para Nabi sendiri tidak
mengetahui apa yang terjadi pada ummat mereka setelah mereka wafat :
*(Ingatlah), hari diwaktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya
(kepada mereka):”Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu”. Para rasul
menjawab:”Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkau-lah
yang mengetahui perkara yang ghaib”. (QS. 5:109)*
tetapi imam Ja’far di atas menyatakan bahwa para imam juga mengetahui
perkara-perkara yang ghaib, sama seperti Allah. Nabi Isa pun tidak tahu apa
yang terjadi dengan ummatnya. Allah bertanya pada Nabi Isa apakah pernah
menyuruh ummatnya untuk menyembah diri dan ibunya. Beliau menjawab
pertanyaan Allah:
Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku
(mengatakannya). *Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah
mengetahuinya, Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak
mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib*”. (QS. 5:116)
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu:”Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu”, dan adalah aku
menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku,
Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Meyaksikan atas
segala sesuatu. (QS. 5:117)
Ini dikuatkan lagi oleh riwayat berikutnya –pada kitab dan halaman yang
sama- dari Surah bin Kulaib, Abu Ja’far –Muhammad Al Baqir- mengatakan
padanya:
Demi Allah kami adalah penyimpan Allah di bumi dan langitnya, bukan
menyimpan emas dan perak tetapi menyimpan ilmuNya.
Sebagai bukti bahwa mereka memiliki ilmu Allah, terdapat riwayat yang
menjabarkan ilmu yang dimiliki para imam. Jelas para Nabi tidak memiliki
ilmu Allah. Mereka hanya memiliki pengetahuan hal ghaib ketika diberitahu
oleh Allah:
*Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. (QS.
72:26)*
*Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72:27)*
Saya katakan pembaca benar-benar beruntung, mendapat kesempatan membaca
nukilan dari kitab syiah yang terbesar, yaitu kitab Biharul Anwar yang
terdiri dari kurang lebih 110 jilid –besar sekali-. Kali ini kita menukil
dari jilid 26 halaman 132 :
Bab Allah membuatkan tiang bagi para imam untuk melihat perbuatan hamba.
Dari Abu Abdullah –imam Ja’far Ash Shadiq-: mengatakan mam mendengarkan suara ketika di perut Ibunya, ketika berusia empat bulan di kandungan dituliskan di lengan kanannya: dan telah sempurna kalimat Allah yang benar dan adil, jika imam tersebut telah lahir maka akan nampak cahay antara langit dan bumi, jika dia mulia berjalan maka dibuatkan baginya tiang dari cahaya untuk melihat apa yang ada antara timur dan barat.
Dalam judul bab jelas sekali bahwa imam mengawasi perbuatan manusia yang ada
di bumi. Di sini kita bertanya lalu apakah tugas imam sebenarnya? Apakah
imam bertugas meneruskan kenabian atau bertugas mengawasi hamba? Lalu
ngapain si imam melihat perbuatan hamba? Apa tujuan imam melakukan hal itu?
Para Nabi tidak pernah dibuatkan tiang oleh Allah untuk melihat perbuatan
hamba di seluruh bumi. Tugas para Nabi adalah menyampaikan risalah Allah,
agar seluruh manusia menyembah Allah dan menjauhi tuhan-tuhan palsu yang
dibuat sendiri oleh penyembahnya. Para Nabi tidak tahu apa yang terjadi esok
hari, kecuali dengan apa yang diberitahukan Allah pada mereka. Nabi tidak
tahu menahu terhadap perbuatan hamba –yang akan dibalas oleh Allah dengan
balasan setimpal-.
Tetapi tidak untuk para imam, mereka juga melaksanakan tugas malaikat untuk
mengawasi hamba-hambanya.
Dalam Al Kafi jilid 1 hal 261 Imam Abu Abdillah –Ja’far Ashadiq-
Masih banyak lagi riwayat tentang ke”linuwih”an para imam, semoga kita bisa
mengungkapnya.
Para sahabat Nabi bukanlah imam yang bisa mengetahui yang ghaib, mereka
adalah manusia biasa yang lahir dalam keadaan normal –tanpa tulisan ayat di
lengannya-, bahkan banyak dari mereka adalah para “mantan” preman, pemabok,
penjudi dan banyak lagi sifat-sifat lainnya. Anda tidak akan pernah
menemukan riwayat dalam kitab ahlussunnah yang menyatakan bahwa para sahabat
adalah penyimpan ilmu Allah dan mampu melihat amalan seluruh manusia di
penjuru planet bumi ini. Sahabat tidak memerlukan riwayat riwayat buatan
manusia seperti itu, tetapi cukup dengan ayat Al Qur’an yang abadi dan tidak
akan dapat berubah selamanya, yang hanya diyakini oleh orang Islam:
*Sesungguhnya Allah telah ridha** terhadap orang-orang mu’min ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada
di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. 48:18)*
*Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil.Dan adalah Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 48:19)*
Ayat di atas membahas para sahabat yang bersama Nabi dalam peristiwa baiat
di hudaibiyah, jumlah mereka sekitar 1500 orang. Allah telah ridha pada
mereka padahal mereka masih hidup di dunia. Mereka para sahabat yang
dianggap “gembel” oleh rasa persia, dan akhirnya kerajaan persia dikubur
oleh para sahabat untuk selamanya, ternyata diridhai oleh Rabb mereka.
meskipun bangsa persia benci dan mendendam dalam hatinya. Tenang saja,
dendam itu tidak akan membangkitkan kerajaan persia raya dari kuburnya.
Dengan keridhaan Allah ini cukuplah kebanggaan bagi mereka, cukuplah alasan
bagi kita untuk mencintai mereka, sebagai konsekwensi kecintaan kita kepada
Allah. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk membenci mereka yang dicintai
Allah. Tidak ada alasan bagi anda untuk membenci mereka, jikalau anda masih
beriman pada ayat di atas. jika anda menganggap sahabat Nabi telah kafir,
-ingat, Abubakar dan Umar termasuk mereka yang berbaiat pada Nabi di
Hudibiyah-, silahkan anda keluar dari islam dan nyatakan dengan terus
terang, jangan malu atau takut menyuarakan keyakinan anda. Jika anda
menyembunyikan keyakinan jahat bahwa Abubakar dan Umar telah kafir dalam
hati, maka Allah tetap mengetahui apa yang ada dalam hati kita, Anda mesti
mengedepankan penilaian Allah daripada penilaian teman, guru, tetangga
maupun keluarga anda sendiri.ini jika anda masih ingin disebut muslim.
(www.arrahmah.com)