KABUL (Arrahmah.com) – Keberadaan mujahidin Taliban telah menyebar di seluruh penjuru Afganistan. Hal ini didukung oleh serangkaian data yang dikumpulkan dari salah satu ‘think tank’ kebijakan internasional pada Kamis (10/9), seiring dengan semakin tidak menentunya kondisi politik negara tersebut pasca pemilihan presiden.
Ketidakmenentuan politik ini semakin pelik sejak aksi pengumpulan suara 20 Agustus lalu, dimana Presiden incumbant Hamid Karzai bersikukuh bahwa hasil pemilihan tersebut benar-benar murni meskipun dibantah oleh lembaga pengawas pemilu PBB yang menyatakan bahwa banyak suara dalam pemilihan itu tidak valid dan memerinthakan dilakukannya penghitungan ulang.
Ketidakmenentuan ini pun berbanding lurus dengan semakin meningginya tingkat kekerasan di Afghanistan sejak Taliban ditumbangkan oleh angkatan perang Afghan yang didukung oleh AS pada 2001, dengan semakin meningkatnya kerugian militer dan kematian penduduk sipil yang terjadi.
Sebuah dokumen keamanan yang diterbitkan oleh kelompok penelitian kebijakan Dewan Internasional Keamanan dan Perkembangan (ICOS) memperlihatkan semakin ‘gawat’-nya kondisi keamanan seiring dengan meluasnya aktivitas Taliban di sedikitnya 97 persen wilayah Afghanistan.
Data ICOS yang dirilis pada hari Kamis (10/9) memperlihatkan gambaran suram dibanding dokumen yang mereka keluarkan bulan lalu mengenai kondisi Afghanistan dan pemerintahannya, dimana Taliban disinyalir hanya menguasai setengah wilayah negara tersebut.
Menurut laporan dalam setiap minggunya sejak Januari 2009 selalu saja ada satu serangan mujahidin Taliban di hampir 80 persen wilayah Afganistan.
“Di sepanjang wilayah utara Afghanistan, kami menemukan peningkatan yang dramatis mengenai serangan terhadap tentara internasional, pemerintah Afghan, dan warga sipil,” tutur analis kebijakan ICOS, Alexander Jackson.
Sedangkan meningkatnya jumlah korban dari kalangan sipil, lebih banyak dan seringkali disebabkan oleh ‘keteledoran’ pasukan salibis internasional, seperti yang terjadi belum lama ini di provinsi Kunduz. Namun, penyimpangan perang seperti itu tidak pernah digubris oleh pemerintah Afghan dan dunia internasional. Mereka hanya mampu mengecam dan mengecam tanpa bisa memberikan tindakan tegas apapun, kecuali memberi legalisasi agar angkatan perang NATO yang dipimpin AS itu lebih lama tinggal di Afghanistan.
Sementara itu, presiden ICOS, Norine MacDonald, mengatakan bahwa kesimpulan yang diperoleh oleh lembaganya itu memperlihatkan adanya kevakuman konstitusional dan kelumpuhan peranan pemerintah Afghanistan. (althaf/rtrs/ansarnet/arrahmah.com)