TIKRIT (Arrahmah.com) – Salah seorang panglima tinggi AS di Irak mengatakan pada hari Selasa (11/8) bahwa ketegangan etnik yang berlangsung di antara suku Kurdi dengan Arab merupakan ancaman yang tersisa bagi stabilitas Irak, terutama setelah angkatan perang salibis Amerika mangkat.
Jenderal yang bertanggung jawab atas berbagai operasi AS di Irak utara juga mengatakan bahwa serangan di kota Mosul selama minggu-minggu belakangan ini memperlihatkan bahwa Al Qaidah semakin leluasa.
“Persaingan untuk menguasai sumber energi dan wilayah di antara orang Arab dan Kurdi tentu saja bisa mengakibatkan perseteruan etnik yang berujung pada kematian,” kata Mayor Jenderal Robert Caslen. Dia berbicara pada wartawan Departemen Pertahanan lewat jaringan video dari pangkalannya di Tikrit.
Beberapa pejabat tertinggi departemen pertahanan sudah mengklaim sudah mengidentifikasi adanya keretakan hubungan di antara orang Arab mayoritas Irak dan minoritas Kurdi sebagai ancaman jangka panjang yang cenderung lebih berbahaya bagi stabilitas Irak daripada konflik Sunni-Syiah. Orang nomor satu di Pentagon, Robert Gates, telah pergi ke wilayah utara yang dikuasai oleh warga Kurdi dalam rangka menyelesaikan seteru dua pihak (Arab-Kurdi) sebelum sang polisi dunia (AS) meninggalkan Irak tahun 2011.
Caslen mengklaim bahwa ia mencoba menguatkan kedua belah pihak secara politik, sebagai bagian dalam kunjungan perdana menteri Nouri al-Maliki untuk menemui pimpinan Kurdi di kampung halamannya.
“Apakah mereka mampu menyelesaikan masalah etnis ini secara damai?” kata Caslen. “Mereka memiliki kemampuan untuk itu. Pertanyaannya adalah apakah pemimpin tertinggi mereka akan mampu menggunakan posisi kepemimpinan mereka untuk mendesak warganya melakukan hal tersebut ataukah tidak.”
Kedua belah pihak berseteru soal perbatasan wilayah kekuasaan mereka masing-masing dan landasan hukum mengenai pembagian kota etnis Kirkuk.
Menanggapi ketegangan yang terjadi di Mosul dan Baghdad, Caslen mengatakan Al-Qaidah melakukan penyerangan yang baru untuk menarik perhatian. Namun, menurut Caslen, kelompok mujahidin yang terdiri dari kaum Sunni, tidak mampu menimbulkan perpecahan sektarian yang besar-besaran.
Caslen mengatakan jumlah serangan pemberontak sudah berkurang di Mosul sejak kontrol kota diserahkan kepada angkatan perang Irak pada 30 Juni. Serangan mingguan rata-rata 42; sedangkan saat ini rata-rata hanya 29 kasus, kata Caslen. Pada saat yang sama, tingkat kerugian yang dialami oleh angkatan perang keamanan Irak semakin tinggi, baik dari segi jumlah korban maupun kerugian material lainnya.
Dua pemboman truk pada Senin (10/8) di kota Mosul dan ledakan lain di Baghdad menyebabkan korban meninggal di lebih dari 100 orang selama empat hari, kondisi terburuk yang harus diderita Irak sejak pasukan salibis AS meninggalkan kedua kota tersebut.
Al Qaidah tetap menjadi ancaman bagi Irak (para penguasa munafiknya) dan AS khususnya. Para mujahidin Al Qaidah diakui Caslen sebagai angkatan perang cerdas yang mempunyai kemampuan untuk menghidupkan lagi kekuatan pertempuran kapanpun. (Althaf/fox/arrahmah.com)