(Arrahmah.com) – Antara Juni hingga Oktober 2015, kebakaran melahap puluhan ribu hektare hutan di Indonesia. Korban meninggal dunia, baik manusia maupun hewan, telah berjatuhan. Dampak ekonominya pun diperkirakan mencapai lebih dari US$15 miliar atau setara Rp196 triliun.
Lebih dari 20 tahun, kebakaran hutan dan lahan seperti menjadi acara tahunan bagi para petani dan perusahaan yang ingin membuka hutan dan lahan gambut demi bubur kayu, minyak sawit, karet, atau peternakan skala kecil. Tahun lalu, sebagian Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara diselimuti asap beracun selama berminggu-minggu. Tampaknya negara hanya hadir sebagai pemberi perizinan. Sementara operator dan pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta, apa lagi swasta asing.
Kebakaran hutan yang diikuti dengan bencana asap di Asia Tenggara tahun lalu kemungkinan telah menyebabkan 100 ribu kematian prematur. Kebakaran menyebabkan sekitar 91.600 kematian di Indonesia, 6.500 di Malaysia dan 2.200 di Singapura.
Demikian studi terbaru dari ilmuwan Universitas Harvard dan Columbia dalam jurnal lingkungan Enviromental Research yang dikeluarkan, Senin seperti dilansir RT. Jumlah kematian itu cukup besar atau puluhan ribu kali lebih tinggi dari yang dinyatakan otoritas setempat.
Dalam studi itu, ilmuwan menggunakan data satelit dan modeling komputer untuk memperkirakan potensi kematian. Memakai data itu asap mendorong kematian antara 26.300 dan 174.300 orang atau rata-rata 100.300 jiwa.
“Kami memperkirakan bencana asap pada 2014 menyebabkan kematian 100.300 jiwa di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Jumlah ini dua kali lebih besar dari 2006. Penyebab peningkatan ini tak terlepas dari kebakaran di Provinsi Sumatra Selatan, Indonesia,” ujar Ilmuwan.
Otoritas Indonesia hanya menyebut jumlah kematian 19 orang. Namun pada saat yang sama, Badan Penanggulangan Bencana Nasional pada Oktober menyebut lebih dari 43 juta jiwa terpapar asap dari kebakaran. Setengahnya mengalami permasalahan pernapasan “Menyusul kebakaran tahun lalu, Pemerintah Indonesia mengatakan 43 juta jiwa terpapar asap di negara itu, dan setengah mengalami masalah pernapasan,” ujarnya dikutip dari laman republika.co.id (20/9/16).
Sebanyak setengah juta orang dirawat di rumah sakit akibat asap kala itu. Diperkirakan pula bahwa selama lima bulan tersebut, sekitar 1,7 miliar ton karbon—atau setara dengan yang diproduksi Brasil selama setahun—dilepaskan ke atmosfer.
Bagaimana Nasib Para Pembakar Hutan?
Pada Desember 2015, Indonesia mengumumkan lebih dari 50 perusahaan akan dihukum atas peran mereka dalam kebakaran hutan. Penyelidikan lebih lanjut pun dilakukan saat itu. Namun, beberapa pekan kemudian, PN Palembang menolak gugatan perdata senilai Rp7,9 triliun dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Bumi Mekar Hijau seluas 20 ribu hektar pada 2014. Majelis hakim menyatakan tak melihat ada dampak kebakaran hutan pada rusaknya ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi kerusakan karena lahan tetap bisa ditanami oleh akasia.
Mantan komisioner Komisi Yudisial, Taufiqurrahman, mengaku heran dengan kemenangan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang didakwa sebagai perusahaan pembakar hutan dalam sidang di Pengadilan Negeri Palembang. Putusan majelis hakim PN Palembang menolak gugatan pemerintah atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH). Padahal, menurut dia, banyak fakta di lapangan yang membuktikan PT BMH telah merugikan negara.
“Kalau dilihat dari fakta di lapangan, semua tahu negara mengalami kerugian besar. Banyak rakyat menderita karena asap, bahkan bayi-bayi meninggal,” katanya saat dihubungi tempo.co pada Minggu, 3 Januari 2016.
Terlepas dari fakta tersebut, Taufiqurrahman menuturkan kekalahan pemerintah itu bisa saja akibat kelemahan pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penggugat seharusnya mampu meyakinkan majelis hakim dengan bukti yang dimiliki. Menurut dia, hakim hanya akan memutuskan perkara berdasarkan fakta yang diberikan dalam persidangan. “Sidang itu seperti perang, harus ada strateginya,” ucapnya.
Salah satu strategi yang dimaksud adalah berani mengeluarkan dana besar untuk menyewa kuasa hukum yang memiliki pengaruh besar di mata publik. Hal itu agar persidangan diawasi publik, sehingga hakim akan berhati-hati saat memberikan keputusan. Lawan pemerintah dalam perkara kebakaran hutan itu adalah perusahaan besar. PT BMH memiliki banyak dana untuk membayar penasihat hukum.
Kata Dian Patria selaku direktur riset dan pengembangan KPK, tantangan terbesar adalah tiada pihak yang sudi memikul tanggung jawab untuk masalah yang sudah berlangsung berpuluh tahun.
“Tata kelola dan manajemen kehutanan yang buruk, berdasarkan kajian kami, telah berlangsung 12 tahun terakhir. Namun, semua orang mengatakan itu adalah kesalahan menteri sebelumnya atau gubernur sebelumnya,” kata Dian Patria.
“Ada banyak pemangku kepentingan, pemerintah daerah, pejabat publik, dan penerima hak konsesi. Mereka mestinya bekerja sama dengan kami dan memecahkan permasalahannya saat ini. Sektor swasta, khususnya, harus bertanggung jawab. Banyak dari perusahaan-perusahaan itu berbasis di Singapura dan Malaysia, bukan hanya perusahaan Indonesia,” tambahnya. (bbc.com 15/3/16)
Salah kelola
Setidaknya selama 3 tahun terakhir, setiap kali bencana pembakaran hutan lahan ditemukan titik api yang terkonsentrasi di lahan gambut. Diberitakan beritasatu.com, 11 September 2015, analisis greenpeace menunjukkan 3,464 titik api tahun ini berada di gambut yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia, dan 75 persen titik api di Sumatera ditemukan di kawasan gambut.
Tahun lalu, menurut pantauan WWF sepanjang Februari 2014 di kawasan gambut terdeteksi 2370 titik api (www. wwf. co.id). Di Riau pada periode 8-14 Februari 2014, dari 1,045 titik api ditemukan 95,96%nya dilahan gambut, sisanya di lahan non gambut (www.mongabay.co.id). Pada kebakaran gambut tahun 2013, dengan titik api terbanyak 2.968 pada Agustus (Riaugreen.com, Jikalahari, Hutan Alam Riau Ditebang, Buruk Rupa Tata Kelola Kehutanan Indonesia). Titik api yang ditemukan tahun 2014 melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013, ada 2.643 titik api di Sumatera, yang dinilai sudah merupakan puncak krisis kebakaran hutan.
Tata kelola gambut, hak konsesi dan semisalnya hakekatnya adalah pemberian hak-hak istimewa oleh pemerintah kepada entitas bisnis dalam pemanfaatan gambut yang sejatinya adalah milik publik. Yang bagi entitas bisnis, profit (keuntungan) merupakan orientasi utama, menjaga dan melestarikan karakter alamiah gambut adalah urusan ke sekian. Sehingga tidak heran mengapa terus terjadi bertahun-tahun pengrusakan secara massive karakter alamiah gambut di tangan pemilik konsesi dan hutan tanaman industri. Gambut dikeringkan dengan membuat kanal-kanal, agar bisa ditanami tanaman yang saat ini produknya menjadi komoditas andalan di pasar global, yaitu sawit dan akasia.
Disaat bersamaan dengan pemberian hak konsesi terjadi pemandulan peran dan wewenang pemerintah sebagai entitas publik yang bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan dan pengelola harta publik dalam hal ini hutan dan lahan gambut. Tidak saja menghalangi individu lain memanfaatkan lahan yang berada dalam kawasan konsesi, namun juga mencegah negara melakukan intervensi apapun sekalipun demi kemashlahatan publik, kecuali bila hak konsesi dicabut.
Akibatnya, sungguh pahit, pemerintah tidak mampu mencegah pengrusakan hutan lahan gambut. Bahkan dari tahun ke tahun pengrusakannya kian massive dan meluas. Berbagai aksi pencegahan baik berupa perundang-undangan maupun program teknis tidak membawa kebaikan apapun. Pada hal sudah berlangsung 18 tahun bahkan lebih, waktu yang tidak dapat dikatakan singkat untuk urusan puluhan juta jiwa kehidupan manusia. Tidak hanya itu, negara juga gagal melakukan aksi pemadaman.
Bila dicermati, sebagaimana rezim sebelumnya, juga tidak ada terobosan baru dalam aksi pencegahan oleh rezim Joko Wi-JK. Masih saja dalam bingkai neoliberal, yang membenarkan dan mengekalkan konsep konsesi. Karenanya juga akan berujung kegagalan. Seperti program pembentukan 100 blocking kanal, yang merupakan program andalan rezim Joko Wi-Jk. Berkaca pada program gambut sejuta hektar, tampa kekonsistenan dan disiplin pengawasan kanal sekat hanyalah bom waktu(Kompas, 17 Oktober 2015. “Bom Waktu” Bernama Kanal Sekat”). Terbukti kedisiplinan dan kekonsistenan yang tinggi sulit diharapkan ada pada entitas bisnis yang berorientasi profit.
Bisa disimpulkan bahwa induk kejahatan dan kesalahan serta kelalaian pada bencana kabut asap ini adalah pada konsep konsesi itu sendiri serta adanya kewenangan yang dimiliki negara dalam memberikan hak konsesi. Konsep batil yang mendapatkan ruang implementasinya dalam sistem politik kufur demokrasi. Jadi bukan pada aspek mudah tidaknya pra syarat administrasi yang harus dipenuhi calon pemilik hak konsesi. Adapun kejahatan pengrusakan karakter alamiah dan pembakaran gambut hanyalah kesalahan turunan, yang hanya akan terjadi setelah negara membuka pintu kesalahannya.
Negara harus hadir
Sehingga solusi satu-satunya bagi pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan ini adalah mencampakan model batil tatakelola gambut neoliberal dan melakuan terobosan baru dengan menerapkan tata kelola gambut yang selaras dengan karakter alamiah gambut.
Penindakan hukum secara tegas terhadap para pelaku pembakaran dan siapa saja yang terlibat. Ini harus dilakukan secara tegas dan tanpa pilih kasih. Bukan hanya yang kecil yang ditindak, tetapi juga yang besar. Selama ini masyarakat melihat, penindakan baru menyentuh yang kecil, sementara yang besar dibiarkan.
Untuk jangka panjang harus diadakan infrastruktur untuk mencegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan; baik berupa pembuatan kanal, penghutanan kembali, pembuatan sumur sumber hidran, embung, tata ruang dan lahan, termasuk mungkin pembelian pesawat water bombing yang diperlukan.
Lebih dari itu, kebakaran terjadi karena adanya UU dan peraturan yang membenarkan hal itu. Ada pula peraturan yang membenarkan pemberian konsesi sangat luas sampai ratusan ribu hektar kepada swasta. Padahal penguasaan lahan yang sangat luas itu menjadi salah satu akar masalah kebakaran hutan. Selain itu, seperti disinggung di atas, maraknya kebakaran lahan ada kaitannya dengan sistem politik demokrasi yang sarat biaya. Politisi dan penguasa di antaranya mengumpulkan dana politik dengan pemberian penguasaan lahan. Semua itu harus dicabut dan diganti. Itulah problem sistem dan peraturan perundangan, yang justru menjadi akar masalah kebakaran lahan dan kabut asap. Karena itu sistem dan peraturan itu harus dicabut dan diubah.
Negara wajib hadir dalam wujud bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan gambut. Mulai dari terjaminya hak-hak setiap individu dalam pemanfaatan gambut, lestarinya fungsi ekologis hidrologis gambut, tidak jatuh ketangan asing, hingga pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila gambut terbakar.
Semua ini mestinya membuka mata, pikiran dan hati kita bahwa itu adalah akibat penyimpangan terhadap hukum Allah SWT dalam bentuk penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme yang rusak. Karena itu diperlukan solusi total dan tuntas. Caranya tidak lain adalah dengan mengganti sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi biang masalahnya menjadi sistem politik dan sistem ekonomi Islam. Prinsip-prinsip shahih ini adalah aspek yang terintegrasi dengan sistem kehidupan Islam secara keseluruhan,yang hanya compatible (serasi) dengan sistem kehidupan Islam, sistem politik Islam, khilafah Islam. Dan Karena persoalan menjaga kelestarian hutan dan lahan gambut menjadi hajat kehidupan seluruh penjuru dunia, maka sesungguhnya hadirnya kembali khilafah Islam adalah kebutuhan dunia. Sistem politik yang didesain Allah swt sesuai dengan fitrah, karakter alamiah makhluk cipataan-Nya.
Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia
(*/arrahmah.com)