SURIAH (Arrahmah.com) – Sembilan kelompok pejuang di Suriah, termasuk faksi-faksi besar Islam seperti Front Islamiyah dan Majelis Syura Mujahidin Syarqiyah (di mana Jabhah Nushrah terdapat di dalamnya) di Deir Ezzour menolak pembentukan khilafah versi Jama’ah Daulah Islam Irak dan Syam atau Islamic State of Irak and the Sham (ISIS), dan mereka mengumumkannya secara online.
Sembilan kelompok mujahidin tersebut mengatakan bahwa, “Pengumuman khilafah oleh Jama’ah Daulah adalah batal dan tidak sah (secara syar’i),” baik “dari sisi legalitas maupun sisi logis.”
Pernyataan, yang ditandatangani oleh dewan-dewan syar’i masing-masing kelompok perjuangan itu, lebih lanjut mengatakan bahwa pengumuman khilafah tersebut, “tidak mengubah apa pun dalam hal bagaimana kita memandang mereka, atau bagaimana kita akan berurusan dengan mereka.”
Para penandatangan tersebut memperingatkan tiap mujahid dan organisasinya agar tidak mendukung ISIS. Mereka berpendapat bahwa keputusan untuk mengumumkan Khilafah adalah untuk kepentingan ego diri sendiri dan upaya untuk “membatalkan revolusi yang diberkahi di Suriah dan Irak.”
Pada status Twitter-nya, Majelis Syar’i Mujahidin (MSM) memasang link ke pernyataan yang menolak kekhalifahan yang telah diumumkan. MSM mengatakan bahwa pengumuman khilafah oleh ISIS adalah bagian dari “kampanye sistematis untuk mendistorsi makna syariah” dan ISIS telah mendistorsi syariah, dan [aturan untuk] hukuman, dan sekarang mereka ingin mendistorsi Khilafah.”
Selain Front Islam dan MSM, dewan syariah dari tujuh kelompok lain juga menandatangani penolakan terhadap Khilafah versi ISIS tersebut.
Sementara itu, para pemimpin Jabhah Nushrah juga menunjukkan reaksi yang sama. Dalam serangkaian tweet berbahasa Inggris dan Arab, Abu Sulaiman Al Muhajir, seorang pejabat syariah teratas di Jabhah Nushrah, dengan tajam mengkritik pengumuman khilafah versi ISIS tersebut. Dengan menggunakan hashtag #Khilafah_Proclaimed dalam tweet-nya, Abu Sulaiman berpendapat bahwa kegagalan Daulah Islam (ISIS) untuk berkonsultasi dengan para pemimpin jihad sebelum membuat pengumuman “adalah pelanggaran yang jelas dari Islam.”
“Situasi tidak berubah sama sekali di sini,” kata Abu Sulaiman dalam satu tweetnya, mengacu pada Suriah. Hanya perbedaannya yang saya lihat adalah adanya pembenaran atas nama ‘Islam’ bagi mereka [ISIS] untuk membunuh Muslim lainnya. “Jama’ah Daulah telah lama melakukan pembenaran atas pembunuhan mujahidin pejuang pembebasan lainnya dan para pemimpinnya dengan dalih bahwa mereka adalah satu-satunya otoritas yang sah di Irak dan Suriah.
Abu Sulaiman, yang berasal dari Australia, menjabat sebagai mediator selama upaya awal Al-Qaeda untuk mendamaikan ISIS dengan kelompok-kelompok jihad lainnya di Suriah. Ketika upaya-upaya tersebut gagal, ia menjadi kritikus vokal dari ISIS dan sekarang menjadi penentang khilafah versi ISIS.
Dua pejabat senior Jabhah Nushrah lainnya yang aktif di Twitter juga dengan tanggap mengecam deklarasi Khilafah tersebut. Salah satunya adalah Sami Al Uraydi. Dia mengatakan bahwa pengumuman kekhilafahan “adalah benar-benar sebuah deklarasi perang terhadap Muslim lainnya, ketimbang [pembentukan] sebuah kekhalifahan Islam.” Uraydi melemparkan kritik yang mirip dengan Abu Sulaiman, dengan alasan bahwa Khilafah seharusnya diatur oleh aturan-aturan yang disepakati oleh para ulama Muslim dan tidak sesuai dengan tuntutan dari Abu Bakr Al Baghdadi, pemimpin ISIS.
Pejabat Jabhah Nushrah lainnya, Al Gharib Al Muhajir Al Qahtani (Abu Marya), menolak khilafah versi ISIS dan menyebutnya sebagai “imajiner.” Menurut Al Qahtani, ISIS sebelumnya telah gagal mendapatkan dukungan dari “banyak siswa ilmu [Islam] dan para pemimpin.” Dengan demikian, kelompok ini sekarang telah menjadi terobsesi dengan gagasan tentang Khilafah, berharap memperoleh legitimasi yang lebih kuat daripada ketika ia masih hanya berbentuk sebuah negara.
ISIS telah menculik ribuan orang di Suriah, termasuk aktivis pemberontak dan oposisi, dan melakukan sidang harian, serta mengeksekusi pelaku di depan publik di daerah-daerah yang berada di bawah kendalinya.
Mereka saat ini mengontrol provinsi Raqqa di Suriah utara, sebagian kawasan yang kaya minyak di provinsi Deir Ezzour selatan yang berbatasan dengan Irak, dan sebagian Aleppo di utara.
(aliakram/ansharulislam/arrahmah.com)