JAKARTA (Arrahmah.com) – Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Tito Karnavian menyebutkan sekitar 70-75% penanganan terorisme di Indonesia merupakan peran intelijen.
“Sekitar 20%, merupakan investigasi dan 5% nya karena penindakan tegas yang dilakukan oleh Densus 88,” kata Tito dalam seminar Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta, Rabu (3/8/2011).
Tito mengungkapkan adanya dua ‘pertempuran’ dalam penanganan terorisme, yakni pertempuran proses mengungkap dan menangkap pelaku serta kedua pertempuran membuktikan pelaku bersalah di pengadilan yang terbuka atau fair.
Sayangnya dalam pertempuran’ menangkap pelaku, seringkali terjadi aksi tembak di tempat oleh Densus 88.
Sementara itu, di Indonesia, Tito mengungkapkan dari 689 pelaku teroris yang tertangkap dan diajukan ke pengadilan, tidak satupun yang dilepaskan karena adanya bukti.
“Permasalahan aksi teror di Indonesia belum selesai. Bahkan, terungkap pada 2010 ada pelatihan di Aceh dan 2011 ada serangan bom bunuh diri. Secara kualitas menurun tapi kuantitas meningkat,” paparnya.
Namun ia berpendapat penanganan terorisme melalui penegakan hukum tidak menyentuh akar permasalahan. Bila diibaratkan gunung es, penindakan terhadap pelaku teror hanya memotong bagian puncak tanpa menyentuh anggota yang membangun jaringan.
“Hal ini mengakibatkan jaringan terorisme dengan pemahaman ideologi terus berkembang. Sumber daya negara pun dinilai belum maksimal, seperti penggunaan militer dan inisiatif lintas sektoral,” paparnya.
Tito menyebutkan perlunya pemanfaatan sumber daya negara yang bersinergi untuk inisiatif sektoral agar tidak “overlaping” dalam penanganan “teroris”, sementara di tingkat global, gelombang demokratisasi yang membawa HAM tetap menjadi kebijakan dan mempertimbangkan peta keamanan internasional pascapemboman WTC.
Ia menambahkan, penanganan terorisme idealnya tetap berlandaskan penegakan hukum sesuai koridor yang diimbangi dengan “soft approach” berupa deradikalisasi.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat militer dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengklaim, di babak kedua era reformasi diperlukan peran besar intel nasional dan fusi intelijen. Ia mengklaim bahwa strategi penanggulangan teror pascapenegakan hukum memerlukan kompartementalisasi intelijen. (vn/arrahmah.com)