JAKARTA (Arrahmah.com) – Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah secara resmi sudah melaporkan JPU (Jaksa Penuntut Umum) Ke Komisi Kejaksaan (Komjak) terkait penuntutan persidangan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok .
Sebagaimana dilansir situs PP Muhammadiyah, Sang Pencerah, Rabu (26/4/2017), satgas memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran pada jalur hukum. Pada dasarnya penuntutan wajib independent demi keadilan berdasar atas hukum dan hati nurani.
Hak Menuntut dari JPU seakan melepaskan diri dari perintah Pasal 37 UU Kejaksaan. Dimana Penuntutan JPU harus adil secara hukum (aspek yuridis) dan perhatikan pula hati nurani (aspek sosiologis).
Alhasil, JPU di Persidangan Penistaan Agama menuntut terdakwa Ahok dengan pasal 156 dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Atas Dasar itu, Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah jelas meragukan independensi penuntutan JPU berdasarkan pada aspek yuridis dan aspek sosiologis
- ASPEK YURIDIS Pengaduan, adalah sebagai berikut:
1). Bahwa secara yuridis, kami meyakini terdakwa memenuhi unsur dalam dakwaan JPU yaitu Pasal 156A mensyaratkan unsur kesengajaan. Kesengajaan diterjemahkan dari bahasa Belanda opzettelijk dimana berlaku dua teori: teori pengetahuan dan teori kehendak. Perbuatan sengaja dapat dinilai dengan adanya perbuatan yang telah dilakukan dengan kesadarannya. Secara Yuridis, perbuatan terdakwa memenuhi unsur sengaja karena kesadaran kehendak dan pengetahuannya telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 156A.
2). Bahwa secara yuridis, JPU dalam perkara Ahok diduga tidak independen terutama dalam membiarkan Terdakwa untuk menikmati kesempatan mengikuti Pilkada DKI. Seharusnya sejak awal ketika sudah masuk tahapan penuntutan, Terdakwa Ahok dapat langsung ditahan mengingat Pasal dakwaan primernya yakni Pasal 156A dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
3). Bahwa secara yuridis, begitu jelas pada sidang pembuktian dalam menguji barang bukti yang diajukan dipersidangan (Bukti utama video pidato Ahok 27 September 2016 di Kep. Seribu dengan durasi 1 jam 48 menit 33 detik yaitu menit 24.20-24.33, Bukti pendukung: video Ahok di Partai Nasdem, video Ahok di Balai Kota, wawancara Ahok di Al Jazeera, video Ahok menyuruh bikin wifi “surat al maidah 51 dengan password Kafir” dan buku Ahok yang berjudul Merubah Indonesia), kemudian pemeriksaan dengan menghadirkan saksi fakta dan keterangan ahli (saksi dari Puslabfor Mabes Polri yang menyatakan video ahok di Pulau Seribu adalah asli, saksi fakta oleh Lurah Pulau Panggang dinyatakan benar adanya demikian pernyataan terdakwa, saksi seorang pegawai Kominfo DKI yang mendokumentasikan, saksi satu orang nelayan dan satu orang dekat Ahok yaitu Bambang Waluyo Wahab, kesaksian para pelapor Ketua Umum MUI tentang Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Pidato Ahok 27 September 2016 di Kep. Seribu, Keterangan ahli hukum: Prof. Dr. Mudzakir, SH, MH, Dr. Abdul Khair Ramadhan, SH,MH. Keterangan ahli agama: Dr. Hamdan Rasyid, Prof. Dr. Amin Suma, KH. Miftahul Akhyar, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc, M.Ag, Dr. Habib Rizieq Shihab. Keterangan ahli Bahasa: Prof. Dr. Mahyuni, dan kemudian Keterangan 3 orang saksi dari Bangka Belitung yang mengatakan bahwa Ahok sudah berhubungan dengan isu Al Maidah 51 sejak dia maju sebagai calon Gubernur Babel tahun 2007. Artinya ini bisa jadi bukti petunjuk bahwa Al Maidah 51 sudah ada dalam pikiran Ahok sejak lama, maka unsur dengan sengaja sesuai pasal 156A KUHP terpenuhi. Dengan demikian berdasarkan barang bukti dan keterangan saksi serta keterangan ahli yang dihadirkan oleh JPU semuanya memberatkan terdakwa, tetapi justru sebaliknya JPU melemahkan tuntutannya sendiri.
Bahwa secara yuridis, dakwaan dari penuntut umum terhadap terdakwa Ahok sedari awal terkesan ada keraguan dengan menggunakan Pasal Alternatif Pasal 156A dan Pasal 156 KUHP. Melalui Pasal alternatif tersebut menandakan JPU akan buktikan semua tuduhan Pasal alternatif tersebut dan memberikan keleluasaan pada hakim untuk menentukan pilihan dan putusan.
Alhasil, keraguan dakwaan JPU malah berujung ketidakseriusan maksud awal JPU agar hakim yang menentukan pilihan pada Pasal alternatif tersebut yang akan diputuskan. Mengapa JPU malah memvonis melalui penuntutan dengan memilih Pasal 156 dengan meninggalkan Pasal 156A. Secara Yuridis Tuntutan JPU justru melemahkan dakwaannya sendiri karena semula mencantumkan Pasal alternatif dan berujung pada pilihan penuntutan HANYA Pasal 156 KUHP.
4). Bahwa secara yuridis, tuntutan dengan masa percobaan 2 tahun terhadap Terdakwa Ahok adalah bukan merupakan kewenangan dari JPU atau salah sasaran. Pidana bersyarat atau disebut pidana percobaan adalah merupakan kewenangan hakim yang menjatuhkan pidana penjara 1 tahun atau kurungan, bagi terdakwa yang mengakui bersalah atas tindak pidana yang dilakukannya. Sehingga hakim memerintahkan pidana yang dijatuhkan itu tidak usah dijalani di Lembaga Permasyarakatan, kecuali pada masa percobaan terpidana melanggar syarat umum dan syarat khusus yang ditentukan untuk itu. Jadi tidak pada tempatnya jika hal ini “dituntut” Penuntut Umum terhadap Terdakwa Ahok yang merasa perbuatannya bukan perbuatan melawan hukum atau suatu tindak pidana yang mengganggu kehidupan sosial masyarakat.
- ASPEK SOSIOLOGIS Pengaduan, adalah sebagai berikut:
1). Bahwa secara sosiologis, ketidaksiapan JPU membacakan tuntutan sesuai jadwal adalah wujud kinerja yang tidak profesional. Ketika JPU mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim terkait penundaan penuntutan di persidangan, apalagi alasannya karena persoalan teknis belum selesainya pengetikan tuntutan. Secara Sosiologis, situasi itu telah memicu kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap independensi penuntutan. Bahkan menjadi bukti nyata bahwa JPU dengan jumlah timnya sebanyak 13 jaksa tidak mampu menangani kasus Ahok ini secara profesional merupakan pelanggaran atas sumpah janji jabatan seorang jaksa
2). Bahwa secara sosiologis, tuntutan JPU tidak sepenuhnya mempertimbangkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dikeluarkan 11 Oktober 2016 menyatakan saudara Basuki Tjahaja Purnama perbuatannya dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum. Sejatinya pandangan keagamaan MUI merupakan sikap kebatinan umat Islam dimana mereka begitu merasa keyakinannya dinistakan atas perbuatan Terdakwa. Secara Sosiologis Tuntutan JPU telah gagal menangkap suasana kebatinan sikap Keagamaan dan pendapat MUI.
3). Bahwa secara sosiologis, tuntutan JPU telah mengabaikan kepentingan umum dan menyederhanakan perbuatan terdakwa bukan sebagai tindakan penistaan agama sebagaimana yang dimaksud Pasal 156A KUHP. Penuntutan oleh JPU yang sangat ringan justru bertentangan dengan jurisprudensi yang ada selama ini, dan dirasakan sebagai kecenderungan mempermainkan suasana kebatinan hukum para pencari keadilan. Hal ini jika dibiarkan maka akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) kepada instansi penegak hukum dan dapat menimbulkan ketidaktaatan terhadap hukum dan penegakan hukum.
Rekomendasi Kepada Komisi Kejaksaan:
Atas kejanggalan baik secara yuridis dan sosiologis sebagaimana diuraikan di atas, maka kami mendesak kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia akan hal-hal sebagai berikut:
1). Komisi Kejaksaan segera memanggil dan memeriksa Terlapor bertindak sebagai Ketua Tim JPU dalam kasus penodaan Agama dengan terdakwa Ahok.
2). Komisi Kejaksaan RI mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden dan DPR RI untuk meminta pertanggungjawaban penuntutan Terlapor kepada JAKSA AGUNG yang patut diduga kewenangan penuntutannya dilakukan TIDAK INDEPENDENT sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Pasal 37 Undang-Undang Kejaksaan agar dapat mematuhi prinsip AKUNTABILITAS.
3). Apabila dalam pemeriksaan dugaan kewenangan penuntutan dalam pelaksanaannya dilakukan TIDAK INDEPENDENT kami meminta Komisi Kejaksaan untuk merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung memberikan sanksi kepada Terlapor sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4). Komisi Kejaksaan RI mengeluarkan rekomendasi penggantian Tim JPU yang menangani kasus Ahok kepada Jaksa Agung dengan jaksa yang memiliki prinsip mengedepankan hati nurani dan keadilan dalam melakukan tugasnya sesuai Pasal 37 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Sekian pengaduan yang kami sampaikan, agar ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Hormat kami,
Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Gufroni/Direktur Satgas Advokasi
Pedri Kasman/ Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah
Faisal/ Ketua Bid.Hukum PP Pemuda Muhammadiyah.
(*/arrahmah.com)