JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebuah dokumen internal Nestle yang bocor menyatakan bahwa 60 persen produk makanan dan minuman yang diproduksi oleh perusahaan raksasa asal Swiss tersebut tidak memenuhi standar kesehatan yang berlaku.
Hal itu juga diakui oleh perusahaan. “Beberapa kategori dan produk kami tidak akan pernah sehat bagaimanapun caranya banyak yang kami renovasi,” ungkap Nestle, dilansir Financial Times, pada Ahad (6/6/2021).
Menurut dokumen internal Nestle yang ditinjau Financial Times, hanya 37 persen dari produk perusahaan mendapat peringkat di atas 3,5 dalam sistem peringkat kesehatan Australia.
Perhitungan itu tak termasuk untuk produk susu formula bayi, makanan hewan peliharaan dan nutrisi medis khusus.
Sistem peringkat itu menilai produk makanan dengan memberi angka maksimal 5. Sementara, 3,5 merupakan ambang batas produk makanan yang sesuai dengan standar kesehatan.
Perhitungan itu meliputi makanan dan minuman secara keseluruhan. Ada sekitar 70 persen produk Nestle gagal memenuhi ambang batas itu. Lebih rinci, sebanyak 96 persen minuman dan 99 persen produk manisan dan es krim Nestle tidak memenuhi ambang batas yang ditetapkan.
Pun demikian, sebanyak 82 persen produk air dan 60 persen produk susu memenuhi nilai ambang batas.
Fakta tersebut tentu membuat masyarakat khawatir, sebab selama ini banyak produk dari Nestle yang dikunsumsi oleh masyarakat indonesia secara luas.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan investigasi dan klarifikasi terhadap dokumen internal Nestle yang bocor tersebut.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyebut BPOM sebagai lembaga yang memberikan sertifikasi keamanan makanan-minuman dan obat-obatan memiliki peran dan bertanggung jawab terhadap temuan tersebut.
“Kalau betul dokumen menyatakan tidak sehat, tentu harus diinvestigasi. Kalau secara rasional BPOM harus melakukan investigasi lebih detail untuk meyakinkan perlindungan kepada konsumen karena menyangkut keamanan pangan,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, pada Senin (7/6).
Selain itu, Tulus juga mendesak BPOM untuk memberikan penjelasan terkait terminologi dan standar kesehatan yang diterapkan karena konsumen berhak diinformasikan terkait standar yang berlaku.
Klarifikasi, menurut dia, bersifat krusial karena menyangkut kredibilitas BPOM sebagai lembaga pengawasan keamanan makanan dan obat-obatan yang beredar di pasar.
“Kalau tidak aman, tentu sifatnya bisa tanggung renteng (tanggung jawab bersama) Nestle juga dan BPOM selama ini sebagai pemberi sertifikasi bagaimana,” jelasnya.
Tulus juga berharap lembaga internasional seperti World Health Organization (WHO) dapat turun tangan untuk menginvestigasi hal tersebut. Sebab, Nestle merupakan korporasi multi nasional yang produknya telah beredar luas di berbagai negara. (rafa/arrahmah.com)