JAKARTA (Arrahmah.com) – Seorang pengusaha ternama di Kediri, Jawa Timur, bernama Soni Sandra (63 tahun) alias Koko, diduga melakukan pemerkosaan terhadap 58 anak yang masih di bawah umur. Sebelum dicabuli, korban yang masih pelajar SD dan SMP itu dicekoki obat terlarang. Saat ini kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri dan PN Kabupaten Kediri. Berbagai kalangan mendesak Majelis Hakim memberikan hukuman mati kepada penguasaha yang sebelumnya sempat lolos dari jerat hukum.
Menanggapi hal tersebut, Fahira Idris, Wakil Ketua Komite III DPD, mengatakan bahwa kasus dugaan perkosaan terhadap 58 anak oleh seorang pengusaha di Kediri itu merupakan kejahatan kemanusiaan, karena ada 58 anak yang hak asasinya sebagai manusia sudah diinjak-injak.
Dia juga menegaskan bahwa kasus perkosaan tersebut menambah deretan kebiadaban kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
“Korbannya anak-anak yang tidak punya kekuatan apa-apa. Ini sudah perbudakan seksual, tidak hanya diperkosa, anak-anak ini dan keluarganya diancam keselamatan, dibuat takut, psikologisnya ditindas oleh pelaku dengan kekuasaannya. Ini sudah pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusian. Kalau nanti terbukti dan hukuman bagi pelaku biasa-biasa saja, berarti ada yang salah dengan republik ini,” kata Fahira Idris, saat menghadiri konperensi pers Tim Masyarakat Peduli Kediri (TMPK) tentang perkosaan atas 58 anak SD dan SMP yang dilakukan seorang pengusaha di Kediri, di Jakarta (16/5/2016), sebagaimana dilansir Republika.co.id
Dia menilai, apa yang dilakukan pemerkosa anak ini sudah melecehkan negara karena dilakukan dengan mudah, berulang-ulang, dan dengan cara yang biadab. Sebab, korban mengaku setiap anak yang diperkosa dipaksa memakan obat yang memberi efek pusing, mual, gemetar sampai dengan pingsan.
Pelaku juga diduga mencabuli dua sampai tiga korban secara bergantian di dalam satu kamar. Korban dan keluarganya yang hendak melapor juga diduga diancam keselamatannya oleh pelaku. Bahkan banyak korban yang putus asa dan putus sekolah.
“Pelaku menganggap karena kekuasaan dan uangnya, hukum tidak akan bisa menyentuhnya. Ini sudah melecehkan negara. Andai ada hukuman yang lebih berat dari hukuman mati, orang kayak gini pantas menerimanya. Saya lebih memilih HAM pemerkosa-pemerkosa anak seperti ini yang dilanggar demi keselamatan anak-anak kita,” tegas Fahira.
Fahira mendesak, mulai dari polisi, jaksa dan hakim yang menangani kasus ini berani membuat terobosan hukum dalam mengadili pelaku pemerkosaan anak ini agar hanya ada opsi hukuman mati dan paling ringan hukuman seumur hidup. Untuk itu, Polri, Kejagung, dan Mahkamah Agung harus memonitor dan mengawasi kasus ini, termasuk Komisi Yudisial.
“Kasus ini sudah jadi perhatian nasional, jadi dalam prosesnya harus transparan dan memenuhi rasa keadilan. Buat terobosan, gunakan pasal berlapis, beri tafsir lain terhadap kasus ini yang mengutamakan korban. Kita tidak ingin dengar lagi putusan hakim yang biasa-biasa saja,” tandasnya.
Fahira juga meminta Kementerian dan komisi terkait untuk secepatnya memberikan konseling, pelayanan dan bantuan medis, bantuan hukum, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.
“Saya minta negara bergerak cepat untuk segera memenuhi hak-hak korban. Kasus Kediri ini saya harap membuat pemerintah untuk lebih cepat lagi menerbitkan Perppu Kebiri, segera merevisi UU Perlindungan anak, dan segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” imbaunya.
(ameera/arrahmah.com