Oleh : Mahmud Budi Setiawan, Lc
Peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014
(Arrahmah.com) – Sebagian orang mengenal namanya Shalahuddin Al-Ayyubi. Dalam bahasa Kurdi, ia dikenal sebagai Silhedine Eyubi, dan dalam dalam bahasa Parsina ia dikenal sebagai Selahuddin Eyyubi. Lahir pada 1137 atau 1138 Hijrah di Kurdi (Iraq), Shalahuddil Al-Ayyubi dikenal sebagai seorang anak bangsawan di mana ayahnya, Najm Ad-Din Ayyub adalah seorang gubernur atau penguasa di wilayah Baalbeak.
Ia mendapat latihan kemiliteran dari pamannya Asad Ad-din Shirkuh, seorang panglima perang untuk Nur Al-Din. Sebagai Pembebas Al-Quds, Palestina, dari cengkraman Pasukan Salib, banyak sisi menarik yang bisa diulas dari sosok kelahiran Kurdi ini. Salah satu contoh -tanpa mengurangi prestasi yang lain-, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam pembebasan Mesir dari Daulah tirani Syiah Fathimiah (909–1171M).
Dalam sejarah (baca: Siyaru A’lām al-Nubalā’, karya Ad-Dzahabi, juz. 21, hal. 279) disebutkan bahwa ia bersama pamannya, Asad Ad-Dīn Shīrkūh, diutus Nuruddin Mahmud Zanki untuk membersihkan Mesir dari hegemoni Syiah Fathimiyah. Melalui peristiwa tersebut, pada tulisan ini akan dipaparkan secara ringkas bagaimana sikap Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap Syiah.
Sebagai pijakan pada masalah ini, terlebih dahulu diceritakan secara kronologis peristiwa pra-pembebasan Mesir. Sebelum menguasai Mesir, Daulah Fathimiyah (Ubaidiyah) sudah berkuasa di daerah Maghrib (sekarang Maroko, Tunisia, Libya).
Selama berkuasa, mereka melakukan tindakan-tindakan yang sangat meresahkan. Di antaranya: sikap ghuluw (berlebihan) para da’i terhadap Ubaidillah Al-Mahdi (yang dianggap Nabi, bahkan Tuhan), berlaku dzalim terhadap orang Sunni, mengeksekusi setiap yang bersebrangan dengan pendapatnya, guru-guru Sunni dilarang mengajar, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan, melenyapkan karangan Ahlus Sunnah, membekukan beberapa syari’at, dan tindakan anarkis lainnya (baca:Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa Juhūduhu fi al-Qadhā ‘alā al-Daulah al-Fāthimiyah wa Tahrīru Baiti al-Maqdis, karya Syeikh Muhammad Shallābi).
Tak hanya itu, Syiah kerap kali membuat onar, merusak akidah umat, bahkan memecah-belah mereka. Ternyata, ketika menjadi penguasa di Mesir, tindakan mereka tak berbeda jauh dari sebelumnya. Inilah beberapa faktor yang mendesak Nuruddin Mahmud Zanki membebaskan Mesir dari pengaruh Syiah. Hal itu sangat logis karena kala itu Syiah ibarat ‘duri dalam daging’. Misi pembebasan Al-Quds, akan senantiasa terhalang jika sekte ini tidak dibersihkan terlebih dahulu.
Momen yang ditunggu pun tiba. Shawar bin Mujīr Al-Sa’adi -yang dimakzulkan secara paksa dari kursi kepemimpinan- lari ke Damaskus meminta bantuan Nuruddin Zanki. Ia berjanji -kalau kembali memimpin- akan menjadi wakilnya di Mesir. Tak tanggung-tanggung, ia siap memberikan sepertiga pendapatan Mesir pertahun kepadanya.
Untuk mengemban misi besar ini, diutuslah Asad Ad-Dīn Shīrkūh, bersama Shalahuddin Al-Ayyubi. Singkat cerita, penguasa baru Mesir (Dhorghom bin Tsa’labah yang bekerjasama dengan Raja Amauri I) bisa dikalahkan. Setelah kembali berkuasa, ternyata watak asli Shawar tampak. Ia ingkar janji, memperlakukan tentara dengan tidak baik, bahkan mengusir Asad Ad-Dīn dan Shalahuddin beserta rombongannya.
Seperti inilah sikap Syiah di sepanjang sejarah. Ketika mereka dalam kondisi tertindas, lemah, mereka akan menjilat dan pura-pura bersahabat, namun ketika kuat, mereka akan bertindak semena-mena terhadap orang yang tak sependapat.
Pada ekspedisi awal ini, Asad Ad-Dīn gagal dalam membebaskan Mesir. Ia bersama Shalahuddin baru sukses menumbangkan Shawar pada ekspedisi militer ketiga (564H/1169M). Dengan segera, diangkatlah Asad ad-Dīn menjadi pemimpin. Tak lama setelah itu (2 bulan 15 hari), ia pun meninggal dan digantikan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi.
Selama menjadi pemimpin, Shalahuddin melakukan beberapa kebijakan. Di antaranya adalah sikapnya terhadap kelompok Syiah. Shalahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i. Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Shalahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syiah.
Ia juga berlaku tegas dengan tidak mempekerjakan prajurit Syiah di Mesir. Shalahuddin juga memerangi dan melawan ajaran-ajaran serta simbol-simbol mazhab Syiah, mengisolir ulama Syiah bahkan menghentikan ibadah-ibadah Syiah. Di antaranya adalah perayaan Asyura. Ungkapan “Hayya ‘ala Khair al-‘Amal” yang merupakan salah satu syiar mazhab Syiah juga dihapus dari azan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565 ini dicatat juga dicatat kaum Syiah dalam kitab”Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Shalâhuddin Ayyûbi”.
Untuk mengliminir Syiah, panglima yang dikenal sebagai Pembebas Baitul Maqdis atau Masjid al-Aqsha ini menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan simbol Ahlus Sunnah disebutkan dalam setiap khutbah. Juga pergantian hakim-hakim yang berasal dari Syiah dan menempatkan hakim-hakim bermazhab Syafi’i sebagai mengganti hakim Syi’ah agar fikih Syafi’i dijalankan di tengah masyarakat Mesir.
Shalahuddin sangat menentang orang-orang Syiah Mesir dan dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syiah, ia berusaha memberangus Syiah hingga ke akar-akarnya. Karena itu ia berusaha keras menyebarkan fikih Syafi’i dan menyebarluaskan mazhab Syafi’I sebagai ganti mazhab Syiah Ismaliyyah.
Selama berkuasa, setidaknya ada lima sikap Shalahuddin Al Ayyubi menghadapi kaum Syiah:
Pertama, meskipun ia tidak setuju dengan ideologi Syiah, tapi tetap berupaya memberi penyadaran, bahkan ia masih menggunakan cara-cara penuh hikmah (baca: al-nawādir al-sulthāniyah wa al-mahāsin al-yusufiyah, karya: Ibnu Syaddād).
Kedua, ia tidak mengubah Daulah Fathimiyah secara langsung, namun bertahap.
Ketiga, mengubah dengan cara persuasif melalui dialog intensif berdasarkan hujjah yang kuat.
Keempat, mendirikan dan memperbanyak madrasah-madrasah Sunni, sebagai upaya konkrit strategis untuk mengubah pandangan yang rusak.
Kelima, ketika mereka melakukan kudeta (seperti yang dilancarkan Umārah bin Ali), maka Shalahuddin menindaknya dengan tegas.
Akibat sikap tegas Shalahuddin ini, orang-orang Syiah sangat membenci panglima Islam yang ditakuti Barat sepenjang sejarah ini. Kaum Syiah bahkan tak pernah lupa bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi adalah sosok yang dianggap melenyapkan Daulah Fathimiyah (kerajaan Syiah) di Mesir karena memberikan tempat bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tak heran, banyak usaha-usaha membunuh Shalahuddin Al Ayyubi.
Dari pengalaman sejarah Shalahuddin tersebut, ada banyak pelajaran yang berharga yang bisa dijadikan acuan dalam menyikapi Syiah:
Pertama, sebagai muslim kita harus tetap waspada terhadap Syiah. Di sepanjang sejarah, mereka kerap kali melakukan makar, kebohongan dan pemecahbelahan umat.
Kedua, persatuan antara Sunni dan Syiah sangat sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil- diwujudkan. Di samping karena ideologi berbeda, mereka juga punya prinsipkitmān (menyembunyikan identitas) dantaqiyah (secara lahir mendukung, sedangkan batin memusuhi) (lihat: Ushulul-Kāfi, karya al-Kulaini, hal. 282,485).
Ketiga, mengubah dengan cara-cara persuasif dan bertahap.
Keempat, membuat langkah konkrit dengan mendirikan lembaga keilmuan sebagai benteng dari pengaruh ajaran Syiah, serta memperkuat basis keislaman dari berbagai aspeknya.
Kelima, mengonsolidasikan persatuan umat Islam, serta kaderisasi ulama.
Wallahu a’lam bi al-shawāb.
(jendelaalqur’an/arrahmah.com)