WASHINGTON (Arrahmah.id) – Presiden Donald Trump telah beberapa kali dalam beberapa hari terakhir menyampaikan gagasan untuk memindahkan antara 1 hingga 1,5 juta penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania, baik secara permanen maupun sementara. Menurutnya, pemindahan ini diperlukan karena saat ini Gaza tidak layak huni. Trump berpendapat bahwa warga dapat kembali setelah proses rekonstruksi selesai dan tempat tinggal yang layak tersedia.
Sementara itu, utusan Trump untuk Timur Tengah, Stephen Whitcoff, memperkirakan bahwa proses rekonstruksi Gaza akan memakan waktu antara 10 hingga 15 tahun.
Gagasan Trump ini mendapat penolakan tegas dari Yordania melalui Menteri Luar Negeri Ayman Safadi, serta dari Mesir melalui Presiden Abdel Fattah el-Sisi. Selain itu, dalam pertemuan tingkat menteri enam negara Arab—Palestina, Mesir, Yordania, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab—pada Sabtu lalu, mereka secara jelas menolak pemindahan paksa warga Gaza dengan alasan apa pun.
Meski demikian, Trump terus mengulang idenya, yang pertama kali ia ungkapkan dalam perjalanan dengan pesawat kepresidenan Air Force One sepekan lalu, kemudian mengulanginya dalam dua pertemuan dengan jurnalis di Gedung Putih. Belum jelas apakah pernyataannya mencerminkan rencana resmi AS setelah pertempuran berakhir dan sandera Hamas dibebaskan, atau hanya sekadar uji coba terhadap sikap penolakan negara-negara Arab.
Berdasarkan laporan berbagai sumber serta wawancara dengan seorang diplomat Arab yang pernah bertugas di Washington dan seorang mantan diplomat Amerika yang pernah bertugas di beberapa ibu kota Arab, terdapat lima faktor utama yang mendorong Trump terus mengajukan gagasan ini.
1. Tekanan untuk Mencapai Kesepakatan
Pemerintahan Presiden Joe Biden sebelumnya telah mengusulkank esepakatan gencatan senjata di Gaza yang mencakup pembebasan sandera, masuknya bantuan kemanusiaan, serta negosiasi penarikan Israel dari wilayah tersebut. Namun, meskipun Hamas secara terbuka menerima usulan ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak dan Biden gagal menekan Israel untuk menyetujuinya.
Setelah memenangkan pemilu, Trump mengancam akan mengambil tindakan jika pertempuran tidak dihentikan sebelum ia resmi menjabat pada 20 Januari lalu. Utusannya, Whitcoff, terlibat dalam negosiasi terakhir dan menekan Netanyahu agar menerima kesepakatan tersebut sehari sebelum Trump dilantik. Keberhasilan ini membuat Trump dan timnya semakin percaya diri dalam menekan pihak-pihak lain, termasuk Mesir dan Yordania.
2. Pengalaman dengan Kolombia
Di Washington, beberapa pihak membandingkan kasus Gaza dengan kebijakan imigrasi Trump terhadap Kolombia. Sebelumnya, Kolombia menolak permintaan AS untuk menerima kembali warganya yang dideportasi sebagai imigran ilegal. Namun, Trump merespons dengan mengenakan tarif perdagangan dan sanksi lainnya, termasuk larangan perjalanan bagi pejabat Kolombia ke AS. Akhirnya, Kolombia menyerah dan menerima kembali warganya.
Dalam sebuah wawancara podcast dengan Council on Foreign Relations, pakar kebijakan luar negeri Stephen Cook menyebut bahwa Trump mungkin mencoba menerapkan pendekatan serupa terhadap Mesir dan Yordania. “Beberapa orang percaya bahwa AS dapat mengatasi penolakan Mesir dan Yordania, sebagaimana yang dilakukan terhadap presiden Kolombia yang awalnya menolak, tetapi kemudian menyerah,” ujarnya.
3. Pengaruh Bantuan Finansial AS
Trump menyadari bahwa AS memiliki pengaruh kuat terhadap Mesir dan Yordania melalui bantuan keuangan yang besar. Stephen Cook menjelaskan bahwa “Mesir menerima bantuan militer AS senilai 1,3 miliar dolar per tahun dan sangat bergantung pada pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF), di mana AS memiliki pengaruh besar.” Hal serupa juga berlaku bagi Yordania.
Trump pernah menyatakan, “Kami membantu Mesir dan Yordania dalam jumlah besar,” dan tampaknya ia merasa tidak mendapatkan imbalan yang sepadan dari kedua negara tersebut.
Sejak perjanjian damai Mesir-Israel tahun 1979, Mesir telah menerima lebih dari 75 miliar dolar dalam bentuk bantuan AS. Sementara itu, bantuan AS ke Yordania meningkat tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir. Hingga tahun 2020, total bantuan bilateral AS ke Yordania mencapai 26,4 miliar dolar. Dalam anggaran 2025, Trump mengusulkan 1,4 miliar dolar untuk Mesir dan 1,45 miliar dolar untuk Yordania.
Sebagai mantan pebisnis, Trump melihat kebijakan luar negeri sebagai transaksi bisnis. Ia mungkin merasa bahwa bantuan yang diberikan AS harus menghasilkan keuntungan yang lebih nyata bagi negaranya.
4. Pengalaman Menekan Mesir di PBB
Pada Desember 2016, sebelum Trump resmi menjabat sebagai presiden, Mesir berencana mengajukan resolusi PBB yang mengecam pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat. Namun, setelah Trump berbicara dengan Presiden Sisi, Mesir menarik resolusi tersebut.
Meski resolusi itu akhirnya tetap diajukan oleh empat negara lain (Selandia Baru, Senegal, Malaysia, dan Venezuela) dan disahkan oleh Dewan Keamanan PBB, pengalaman ini menunjukkan bahwa Trump mampu menekan Mesir untuk mengubah kebijakan luar negerinya.
5. Keberhasilan Memindahkan Kedutaan ke Yerusalem
Pada Desember 2017, Trump mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018.
Sebelumnya, lima presiden AS (Ronald Reagan, George H.W. Bush, Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama) enggan mengambil langkah ini karena khawatir akan reaksi keras dari negara-negara Arab. Namun, setelah Trump melakukannya, tidak ada konsekuensi serius dari dunia Arab.
Keberhasilan ini mungkin membuat Trump berpikir bahwa dunia Arab tidak akan benar-benar mengambil tindakan nyata terhadap kebijakan AS, termasuk terkait pemindahan penduduk Gaza.
Kesimpulan
Trump tampaknya yakin bahwa ia dapat menekan Mesir dan Yordania untuk menerima pengungsi Gaza dengan berbagai cara, mulai dari tekanan diplomatik hingga pengaruh finansial. Namun, reaksi keras dari negara-negara Arab menunjukkan bahwa rencana ini masih jauh dari kenyataan.
Sumber: Al Jazeera
(Samirmusa/arrahmah.id)