KASHMIR (Arrahmah.com) – Tepat 5 Agustus 2019, dua tahun lalu, pemerintah India mencabut status khusus Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara bagian yang mayoritas penduduknya Muslim, lewat keputusan presiden yang disampaikan di parlemen pada Senin (5/8/2021).
Langkah ini disebut politikus Mehbooba Mufti sebagai “hari paling kelam” dan langkah penjajahan India di wilayah tersebut.
Status khusus itu selama ini dijamin oleh konstitusi India yang tercantum dalam Pasal 370 – pasal yang dianggap penting karena menjamin otonomi luas bagi negara bagian yang mayoritas penduduknya Muslim tersebut. Sekitar 12 juta orang tinggal di Jammu dan Kashmir.
Seluruh wilayah Jammu dan Kashmir selama ini menjadi perebutan antara India dan Pakistan. Masing-masing negara mengklaim wilayah penuh tetapi hanya menguasai sebagian wilayah.
Berdasarkan Pasal 370 Negara Bagian Jammu dan Kashmir berhak mempunyai konstitusi sendiri, bendera sendiri dan kebebasan mengurus semua hal, kecuali urusan luar negeri, pertahanan dan komunikasi.
Namun kekhususan itu akan segera berakhir begitu dekrit ditandatangani presiden, kata Menteri Dalam Negeri Amit Shah, ketika mengumumkan keputusan tersebut di parlemen.
“Menyusul rekomendasi parlemen, presiden mengumumkan bahwa mulai dari hari ditandatanganinya deklarasi oleh Presiden India dan di hari penerbitannya di berita acara negara, maka semua bagian dari Pasal 370 akan tidak berlaku, kecuali satu bagian saja di pasal itu,” jelasnya.
Dengan pencabutan tersebut maka untuk pertama kalinya orang-orang dari luar negara bagian sekarang boleh membeli tanah dan rumah di Kashmir. Akibatnya, menurut para kritikus, penduduk mayoritas Hindu sekarang dapat menetap di Kashmir yang akan mengubah demografi di sana.
Pengumuman itu sontak ditentang keras oleh para politikus partai-partai oposisi yang hadir dalam sidang yang menyoraki menteri dalam negeri.
Penentangan juga disampaikan oleh mantan Menteri Besar Jammu dan Kashmir, Mehbooba Mufti, yang menyebut pencabutan status khusus sebagai penjajahan oleh India di wilayah tersebut.
“Hari ini merupakan hari yang paling kelam dalam kehidupan demokrasi India,” katanya seraya menambahkan bahwa “keputusan sepihak” pemerintah adalah “ilegal dan tidak konstitusional,” tegas Mufti dalam keterangannya.
Sementara itu, dalam wawancara dengan BBC, Mehbooba Mufti, mengatakan keputusan itu dilatari “perancanaan yang jahat”.
“Mereka hanya ingin menduduki tanah kami dan ingin membuat negara bagian berpenduduk mayoritas Muslim ini seperti negara bagian lain dan membuat kami menjadi minoritas dan mencabut wewenang kami secara total.”
Sebagian warga di wilayah lain India, seperti di Ahmedabad, merayakan pencabutan status Kashmir.
Pengumuman pencabutan status khusus dilakukan tidak lama setelah ribuan pasukan tambahan dikirim ke Jammu dan Kashmir. Beberapa tokoh setempat dikenai tahanan rumah, sementara para wisatawan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah itu.
Layanan internet dan telepon dimatikan di sejumlah daerah di tengah ketegangan dan kemungkinan terjadinya aksi demonstrasi skala besar menentang keputusan pemerintah pusat.
India mengerahkan puluhan ribu pasukan tambahan ke wilayah Kashmir yang dikuasai negara itu.
Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di bawah pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi dalam kampanye pemilu Mei-Juni tahun 2019 untuk mencabut status khusus. Partai itu meraih kemenangan meyakinkan.
Pakistan yang juga mengklaim wilayah Kashmir mengecam pencabutan status khusus di sebagian wilayah Kashmir tersebut dan menyebutnya sebagai tindakan ilegal dan negara itu akan “menempuh segala opsi yang mungkin” sebagai tanggapannya.
“India melakukan tindakan yang berbahaya yang akan berdampak serius terhadap perdamaian dan stabilitas regional,” kata Menteri Luar Negeri Shah Mehmood Qureshi.
Sementara itu berbagai kelompok, termasuk organisasi mahasiswa dan kemasyarakatan di Pakistan, langsung menggelar protes di sejumlah kota, antara lain di Lahore. (hanoum/arrahmah.com)