(Arrahmah.com) – Mencintai Saudara Sesama Muslim Seperti Mencintai diri Sendiri
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
[رواه البخاري ومسلم)
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik Radiallahu Anhu, pembantu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Penjelasan Hadits
Kata لاَ dalam kontek لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ bermakna “nafyu kamal” menegasikan kesempurnaan iman bukan berarti kafir. Sehingga hadits ini tidak bisa difahami “tidak beriman seseorang diantara kalian hingga mencintai dirinya sebagaimana mencintai saudaranya.” Tapi pemahaman yang benar adalah tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya. Kesempurnaan iman itu harus terealisasi dalam kehidupan.
Hadits ini sering salah difahami, sebagaimana firman Allah SWT. “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka itu orang yang kafir”. Hadits ini sering digunakan oleh kelompok tertentu untuk mengkafirkan saudara muslim yang lain lain. Tentu pemahaman seperti ini tidak tepat.
Kata مَا dalam kontek مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه adalah isim mausul yg menunjukkan keumuman . Yang meliputi dua perkara yaitu perkara yang berkaitan dengan agama ( ad Diin) dan perkara yang berkaitan dengan perkara duniawi.
Dalam perkara agama, baik perkara akidah atau perkara syariah wajib kita mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Artinya dalam hal keimanan misalnya wajib kita memiliki keinginan agar saudara kita memiliki keimanan yang lurus sebagaimana keimanan yang kita yakini. Demikianpun dalam hal amal shaleh. Kita wajib memiliki keinginan agar saudara kita melakukan amal shaleh yang kita lakukan. Ini juga berlaku untuk keharaman. Saat kita meninggalkan semua keharaman, maka kita berharap saudara kita juga meninggalkan semua keharaman. Maka harapan seperti ini adalah harapan yang wajib, baik perkara muamalah atau perkara ibadah.
Dalam perkara duniawi kita mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita hukumnya mustahab. Misal ketika kita memiliki barang maka kita juga berharap saudara kita memiliki barang yang sama, atau harta yang sama. Ini sifatnya mustahab, tidak wajib. Atau harapan agar saudara kita memiliki kedudukan duniawi maka ini hukumnya mustahab.
Kadang kita keliru menjelaskan hadits ini dengan contoh-contoh perkara duniawi, padahal keumuman pada kata مَا disini adalah perkara agama.
Penjelasan hadits ini lebih menekankan mencintai saudara dalam perkara agama yang hukumnya wajib. Bukan mencintai saudara dalam perkara dunia yang hukumnya mustahab.
Dari hadits ini juga bisa diambil hukum tentang iktsar atau melebihkan dalam mengutamakan saudara sesama Muslim. Kalau sifat perbuatan itu berkaitan dengan al-qurbu (mendekatkan diri pada Allah) maka mengutamakan sesama muslim dalam ibadah hukumnya makruh.
Sebagai contoh jika seseorang sudah di shaf pertama dalam shalat jamaah di masjid, kemudian datang saudara lain, kemudian kita memberikan tempat kita pada yang baru datang di shaf pertama, sebagai bentuk iktsar hal ini hukumnya makruh. Sebab dalam hal ibadah sifatnya fastabiqul khoirat, menginginkan yang terbaik di hadapan Allah SWT. Adapun mengedepankan orang lain dalam perkara dunia hukumnya mustahab.
Wallahu a’lam bi showab.
Ditulis oleh : irianti Aminatun
(Disarikan dari penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Syarif Turkiy Al Azhari (Ustadzul Hadits Jami’atul Azhar Cairo) saat mensyarah hadits diatas via zoom, 4 April 2021.)
(*/arrahmah.com)