(Arrahmah.com) – Foto-foto ini memperlihatkan rumah yang begitu sederhana, terbuat dari batu dan lumpur yang dibakar. Pemandangannya luas dan berbukit-bukit. Halaman di depannya berbatu, pemiliknya sering berjalan-jalan di sana dengan putra-putranya.
Foto-foto eksklusif Syaikh Usamah bin Ladin rahimahullah ini belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Foto-foto ini baru pertama kali dipubikasikan saat pengadilan terhadap salah satu kaki tangan Syaikh Usamah, Khaled al-Fawwaz, Februari lalu.
Foto-foto eksklusif ini diambil saat seorang jurnalis Palestina, Abdel Barri Atwan mengunjungi Syaikh Usamah di tempat persembunyiannya di pegunungan Afghanistan, lansir CNN pada Kamis (12/3/2015).
Atwan adalah jurnalis pertama yang mewawancarai Sang Mujahid yang diklaim sebagai “teroris paling dicari” itu, jauh sebelum beliau meluncurkan serangan 11 September 2001.
Pada pertengahan era 1990-an, tepatnya tahun 1996, kala itu, Syaikh Usamah mengumumkan perang terhadap salibis Amerika Serikat. Beliau ingin lebih banyak orang, terutama di Arab, yang mengetahui hal ini. Fawwaz akhirnya menghubungi Abdel Barri Atwan, pendiri dan pemimpin redaksi Al-Quds Al-Arabi.
Atwan lah yang pertama kali menyebarkan kisah mengenai fatwa pertama Syaikh Usamah. Fatwa tersebut berisi keluhan-keluhan Syaikh Usamah terhadap AS, terutama atas keberadaan tentara mereka di Arab Saudi. Keseluruhan fatwa tersebut dipublikasikan pada Agustus 1996.
Tak lama setelah itu, Fawwaz menghubunginya dan menawarinya wawancara dengan Syaikh Usamah.
“Saya diberi tahu bahwa Usamah bin Ladin menyukai tulisan saya, ia suka gaya saya, dan ia ingin menemui saya secara pribadi,” kata Atwan dalam sebuah buku karangan Peter Bargen—seorang analis keamanan nasional CNN—”The Osama bin Laden I Know”.
“Saya ragu, karena itu sangat berbahaya,” ujarnya.
Meski begitu, pada November 1996, Atwan terbang ke Afghanistan. Foto-foto dari kunjungannya ini, yang ditemukan dua tahun kemudian oleh detektif Scotland Yard di rumah Fawwaz di London, memperlihatkan Syaikh Usamah dalam kondisi yang sehat, santai, belum menginjak 40 tahun, kadang terlihat tersenyum dan dikelilingi oleh anak-anak.
Foto-foto itu juga memperlihatkan seorang pria yang memiliki pengaruh kuat dalam ideologi global gerakan mujahidin, Mustafa Setmariam Nasar, yang dikenal sebagai Abu Musab as-Suri, pria berkebangsaan Suriah yang kini berusia 50-an, yang belum terlihat atau terdengar lagi selama satu dekade. Namun as-Suri diyakini masih merupakan sosok pemikir strategi yang paling berpengaruh dalam lingkaran kelompok jihad saat ini.
Persembunyian di Pegunungan
Syaikh Usamah, dari Arab Saudi, pertama kali datang ke Afghanistan pada tahun 1980-an untuk mengambil bagian dalam perang melawan pendudukan Uni Soviet.
Saat gerakan jihad anti-Soviet runtuh, Syaikh Usamah mulai mendirikan Al-Qaeda, yang berarti “fondasi” atau “dasar”, di sekitar kota perbatasan Peshawar, Pakistan. Pada 1992, Pakistan memaksa beliau dan pasukannya pergi meninggalkan negara itu.
Syaikh Usamah berangkat ke Khartoum, Sudan, disambut oleh rezim baru Islam di negara itu. Namun setelah empat tahun bermarkas di Sudan, pada 1996, Sudan mengusir Syaikh Usamah karena tekanan Amerika Serikat.
Ketika itu, Taliban, yang memiliki ideologi sama seperti beliau, sedang berkuasa atas Afghanistan, dan Syaikh Usamah memutuskan untuk berangkat ke sana.
Pada Mei 1996, Syaikh Usamah menetap di Jalalabad, kota di sebelah timur Afghanistan. Beliau memiliki benteng di pegunungan Tora Bora, dengan jalan menuju ke sana hanya berupa jalan tanah.
Untuk mencapai kediaman Syaikh Usamah, Atwan bercerita ia berkendara melewati pegunungan selama tujuh jam dengan mobil pickup Toyota berwana merah. Atwan pun berpakaian tradisional Afghanistan untuk bisa melewati pos-pos pemeriksaan dengan lancar.
Atwan menemui Syaikh Usamah di dalam guanya yang berisi rak-rak buku. Berukuran 3×6 meter, menurut perkiraan Atwan. Syaikh Usamah memang dikenal suka menggunakan rak buku sebagai latar belakang saat ia diwawancara.
Gua itu tak hanya menjadi tempat persembunyian Syaikh Usamah, namun juga menjadi tempat beliau menyepi.
Setelah berbicara selama beberapa jam dan makan malam dengan keju dan roti yang berpasir, Atwan beristirahat di kasur yang di bawahnya terdapat kotak-kotak granat.
“Ia menginginkan ekspos media. Ia ingin mengatakan ‘Karena saya sekarang menjadi figur internasional, saya bukan hanya seorang warga (Arab) Saudi. Saya tersinggung karena Amerika menjajah Arab Saudi dan menodai Tanah Suci’,” ujar Atwan.
Seperti terlihat dalam foto-foto ini, Syaikh Usamah selalu membawa senapan Kalashnikov buatan Rusia. Teman-teman Syaikh Usamah kerap memanggilnya dengan sebutan “Abu Abdullah”, yang berarti bapak dari Abdullah, putra tertuanya. Dua putranya yang lebih muda, Sa’ad dan Ali, yang saat itu berada pada usia remaja mereka, beberapa kali terlihat di lokasi peresembunyian itu.
“Ia menyukai alam di tempat itu. Ia menyukai pegunungan. Mereka mencoba membangun komunitas sendiri, menanam makanan sendiri. Tempat itu seperti oasis di Afghanistan,” ujar Atwan.
Saat malam tiba, sinar yang menerangi kediaman Syaikh Usamah bukan berasal dari listrik, namun dari sinar bulan dan lentera berbahan bakar gas.
Tiga istri Syaikh Usamah dan 12 anaknya yang lain tidak tinggal di tempat itu.
Pada 2001, setelah AS memburunya karena peristiwa 9/11, Syaikh Usamah meninggalkan Tora Bora, lalu akhirnya ditemukan di Abottabad, sejam dari ibu kota Islamabad, Pakistan, di mana pasukan Navy SEAL AS membunuhnya.
Bahkan di Tora Bora, Atwan mengatakan ia merasa bahwa Syaikh Usamah tidak benar-benar aman dari badan-badan intelijen. “Saya pikir, pria ini tak akan bertahan,” kata Atwan pada CNN, Selasa (10/3). “Ia tidak dijaga ketat. Ia terlihat dan bergerak dengan bebas.”
Pada 1996, Atwan mengatakan sama sekali tak terbayangkan olehnya apa-apa saja yang direncanakan oleh Syaikh Usamah. “Ia terlihat optimis, namun tak pernah terlintas oleh saya bahwa pria ini akan menjadi pria paling ‘berbahaya’ di dunia.”
(banan/arrahmah.com)