TAIPEI (Arrahmah.com) – Seorang legislator Taiwan pada Kamis (27/12/2018) mengungkapkan bahwa enam universitas telah ditemukan menugaskan mahasiswa mereka yang berasal dari negara-negara New Southbound Policy (NSP) ke pabrik-pabrik sebagai tenaga kerja manual, Liberty Times melaporkan, sebagaimana dilansir Taiwan News.
Dalam Rapat Legislatif Yuan, Legislator Kuomintang (KMT) Ko Chih-en mengungkapkan bahwa ada enam universitas telah ditemukan mengirim mahasiswa mereka yang berasal dari negara-negara NSP untuk bekerja sebagai buruh manual di pabrik.
Dalam satu kasus, para mahasiswa ini hanya diizinkan mengikuti kelas selama dua hari dalam sepekan dan memiliki satu hari istirahat, sementara empat hari sisanya mereka harus bekerja di pabrik. Mereka mengemas 30.000 lensa kontak selama 10 jam per shift.
Ko mengatakan, dalam kasus khusus ini, sebanyak 300 mahasiswa Indonesia di bawah usia 20 tahun terdaftar di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou Kota New Taipei melalui broker.
Para mahasiswa ini datang untuk mengikuti kelas-kelas internasional khusus yang diadakan oleh Departemen Manajemen Informasi pada pertengahan Oktober tahun lalu, China Times melaporkan.
Namun, Departemen Pendidikan (MOE) melarang magang bagi mahasiswa tahun pertama. Meskipun ada larangan, namun kampus tersebut mengatur agar para mahasiswa bekerja berkelompok.
Kelas hanya diadakan pada Kamis dan Jumat setiap pekan, dan dari Ahad hingga Rabu, mereka diangkut dengan bus ke sebuah pabrik di Hsinchu.
Para mahasiswa ini bekerja dalam shift yang berlangsung dari 7:30 pagi sampai 7:30 malam, dengan hanya istirahat 2 jam.
Mereka berdiri selama 10 jam sehari mengemas 30.000 lensa kontak.
Ko mengatakan, sebagian besar mahasiswa Indonesia adalah Muslim, namun, yang mengejutkan, banyak makanannya yang mengandung daging babi.
Terlebih lagi, ketika mahasiswa itu mengadukan hal tersebut ke universitas, para pejabat kampus malah memberikan jawaban aneh.
Pihak universitas meminta mereka untuk bersabar, dan mengatakan bahwa jika mahasiswa membantu perusahaan, perusahaan akan membantu universitas tersebut.
Pejabat universitas mengatakan kepada para mahasiswa itu bahwa jika mereka tidak pergi bekerja, perusahaan tidak akan dapat bekerja sama dengan pihak kampus.
Manajer pabrik juga diduga secara langsung mengatakan kepada Masiswa, “Kalian sama dengan pekerja migran asing.”
Ko mengungkapkan, setelah universitas mendaftar untuk membuka kelas khusus, mereka menerima subsidi dari MOE, yang kemudian digunakan untuk membayar broker untuk merekrut mahasiswa.
Para broker kemudian meyakinkan mahasiswa dari negara-negara NSP untuk belajar di Taiwan.
Setelah di Taiwan, universitas kemudian mengatur “magang” untuk para mahasiswa, dan para broker kemudian akan mengantongi biaya dari perusahaan.
Biaya yang dibayarkan oleh pihak universitas kepada para broker adalah NT $ 200 untuk satu siswa dan NT $ 200.000 untuk 1.000 siswa, yang akan dibayar dengan kedok “biaya kehadiran,” Liberty Times melapokan.
Penjabat Menteri Pendidikan Yao Leeh-ter mengatakan bahwa MOE telah mengundang presiden dari universitas-universitas ini ke MOE tahun lalu, dan memperingatkan mereka secara langsung agar tidak melanggar hukum.
Yao mengatakan, kementerian akan melakukan penyelidikan terkait temuan ini.
Direktur Departemen Pendidikan Teknologi dan Kejuruan MOE Yang Yu-hui mengatakan bahwa magang dilarang untuk mahasiswa baru dari negara-negara NSP dan setelah tahun pertama, mereka tidak boleh bekerja lebih dari 20 jam per pekan, berdasarkan UU Layanan Ketenagakerjaan.
Temuan terbaru ini datang tak lama setelah tersiar kabar bahwa 40 mahasiswa Sri Lanka di Universitas Kang Ning dipaksa untuk bekerja di rumah jagal di Taipei dan Tainan.
(ameera/arrahmah.com)