XINJIANG (Arrahmah.id) – Sebanyak 26 orang Muslim Uighur dikabarkan meninggal dunia saat menjalani hukuman penjara sebagai narapidana di rumah tahanan di wilayah Xinjiang, Cina.
Dilansir dari Radio Free Asia (RFA), sebanyak lima dari narapidana yang tewas diketahui telah berusia lanjut, dan meninggal karena penyakit jantung atau paru-paru, sementara satu lainnya meninggal karena diabetes.
Yang paling mengejutkan, RFA mendapat kesaksian seorang warga Maralbeshi yang menyebut Muslim Uighur yang meninggal karena kelaparan setelah mereka berpuasa secara diam-diam selama Ramadhan, dan tidak bisa makan saat sarapan atau setelah matahari terbenam karena peraturan penjara.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mendesak negara-negara dunia, khususnya Indonesia, untuk membentuk tim investigasi untuk mengusut penyebab kematian 26 Muslim Uighur di Xianjiang, Cina.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, menyebut wajar jika banyak pihak yang menyangsikan penyebab kematian 26 Muslim Uighur, mengingat informasi seputar etnis minoritas di Cina, sangat sulit didapat.
“Jika benar ada 26 muslim Uighur tewas seperti laporan RFA, sepatutnya kejadian pilu ini kita kategorikan sebagai tragedi kemanusiaan di Cina. Beijing harus memberikan penjelasan terkait hal tersebut,” kata AB Solissa kepada wartawan, pada Senin (7/8/2023).
Terlebih, ujar AB Solissa, RFA secara lugas menyebut sumber terpercaya mereka memberikan kesaksian bahwa pihak berwenang di penjara Beijing telah melepaskan puluhan jenazah, termasuk saudara laki-lakinya, tepat sebelum Idul Fitri tahun ini.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, RFA telah mencoba menghubungi polisi di 10 kota tersebut, termasuk berbicara dengan pejabat di Sériqbuya, Awat dan Chongqurchaq.
Ketika RFA menghubungi kantor polisi di Awat, sebuah kota pasar Maralbeshi, untuk menanyakan tentang pemulangan jenazah pada malam Idul Fitri, seorang petugas mengatakan dia mengetahui ada 18 jenazah tahanan yang dipulangkan, tetapi dia menolak untuk mengungkapkannya.
“Yang masyarakat ketahui dari pemberitaan RFA, petugas polisi tersebut tidak mengatakan apakah otoritas penjara membawa jenazah langsung ke anggota keluarga almarhum, ke kantor polisi, atau ke kamar mayat,” tutur AB Solissa.
RFA sebelumnya melaporkan bahwa jenazah lain dibawa ke kantor polisi sebelum diserahkan kepada keluarga.
Proses berlangsung di bawah pengawasan pejabat kabupaten, desa, dan komite rakyat dan polisi. Selain itu, pihak berwenang memantau keluarga selama beberapa minggu.
Penjara Tumshuq sendiri diketahui menjadi tempat penampungan Muslim Uighur sejak tahun 2017, dan diduga etnis minoritas tersebut mendapatkan “pendidikan ulang” karena dituduh sebagai perilaku ekstremis oelh otoritas Cina.
Cina telah mendapat kecaman keras dunia internasional karena pelanggaran hak asasi yang parah terhadap mayoritas Muslim Uighur.
Pemerintah Amerika Serikat dan beberapa parlemen negara-negara Barat telah menyatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mewakili negaranya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo menyebut bahwa Cina melakukan ‘genosida’ kepada etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
“Mike Pompeo menyebut setidaknya sejak Maret 2017, Beijing di bawah arahan dan kendali Partai Komunis Cina, telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap sebagian besar Muslim Uighur dan anggota lain dari kelompok etnis dan agama minoritas di Xinjiang. Ini tidak boleh dibiarkan,” pungkas AB Solissa. (rafa/arrahmah.id)