PARIS (Arrahmah.id) – Hampir 1.700 jurnalis telah terbunuh di seluruh dunia selama 20 tahun terakhir, rata-rata lebih dari 80 setahun, menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Reporters Without Borders (RSF).
Tahun-tahun sejak 2003 digambarkan sebagai “dekade yang sangat mematikan”, dengan tahun 2022 memimpin dengan jumlah kematian tertinggi dalam empat tahun terakhir. Tahun ini tercatat 58 pembunuhan jurnalis, 13,7 persen lebih tinggi dibandingkan 2021 ketika 51 jurnalis terbunuh.
“Di balik angka-angka itu, ada wajah, kepribadian, bakat, dan komitmen dari mereka yang telah membayar dengan nyawa mereka untuk pengumpulan informasi, pencarian kebenaran, dan semangat mereka untuk jurnalisme,” kata Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire, seperti dilansir MEMO (30/12).
Menurut aktivis hak media yang berbasis di Paris, dua negara dengan jumlah kematian tertinggi adalah Irak dan Suriah, dengan total gabungan 578 jurnalis tewas dalam 20 tahun terakhir, atau lebih dari sepertiga dari total seluruh dunia. Lalu diikuti oleh Afghanistan, Yaman dan Palestina.
Laporan itu muncul setelah pembunuhan jurnalis Palestina-Amerika Shireen Abu Akleh, yang ditembak mati oleh pasukan “Israel” saat bertugas meliput serangan “Israel” di daerah Jenin di Tepi Barat yang diduduki pada bulan Mei.
Jumlah kematian jurnalis juga meningkat tahun ini menyusul invasi Rusia ke Ukraina, yang mengakibatkan delapan jurnalis tewas di Ukraina.
Rusia terus menjadi negara paling mematikan di Eropa bagi media, dengan jumlah jurnalis terbesar yang terbunuh selama 20 tahun terakhir. Sejak Vladimir Putin mengambil alih, Rusia telah melihat serangan sistematis terhadap kebebasan pers, termasuk yang mematikan, kata laporan itu.
Amerika merupakan benua paling berbahaya di dunia bagi media, menyebabkan hampir setengah dari pembunuhan jurnalis, dengan Meksiko, Brazil, Kolombia, dan Honduras bertanggung jawab atas sebagian besar kematian.
“Amerika saat ini jelas merupakan benua paling berbahaya di dunia bagi media,” kata RSF.
RSF juga menekankan bahwa “negara-negara di mana tidak ada perang terjadi, belum tentu aman bagi wartawan dan beberapa dari mereka berada di urutan teratas dari daftar tempat terjadinya pembunuhan.”
“Faktanya, lebih banyak jurnalis terbunuh di ‘zona damai’ daripada di ‘zona perang’ selama dua dekade terakhir, dalam banyak kasus karena mereka sedang menyelidiki kejahatan terorganisir dan korupsi,” tambah laporan itu. (haninmazaya/arrahmah.id)