JAKARTA (Arrahmah.com) – Densus 88 telah melakukan pelanggaran HAM berat, tidak cukup hanya dibubarkan. Tetapi, petinggi-petingginya harus diseret ke Pengadilan. Kalau orang lain tidak boleh membunuh tanpa alasan jelas, mengapa Densus 88 dapat membunuh dengan alasan yang tidak jelas.
Demikian itu dikatakan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto dalam talkshow Halqoh Islam dan Peradaban (HIP) Edisi 45, bertema bubarkan Densus 88 ?!, Rabu (13/2), di Aula Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta.
“Jika dibiarkan, itu kan tidak tepat namanya, tidak ada politik before the law, persamaan dihadapan hukum,” ungkapnya menanggapi aksi penembakan brutal Densus 88 terhadap kaum Muslimin..
Ismail menyatakan ada dua kepentingan yang membuat pemerintah Indonesia terus memelihara isu terorisme.
“Pertama, ingin menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih konsern terhadap program yang dicetuskan Amerika yakni perang global memerangi terorisme.Meski di Amerika sendiri relevansinya sudah dipertanyakan,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, ada kepentingan yang lebih sektoral, Kepentingan institusi, atau lebih personal lagi, ada kepentingan person-person di Densus 88 untuk memelihara lembaganya. “Karena di situ ada proyek, di situ ada dana, di situ ada macam-macam,” tudingnya.
Ismail mengatakan, publik tahu bahwa anggaran buat Densus 88 itu terus naik dan harus ada pertanggungjawabannya. Terakhir 300 atau 400 milyar Densus dapatkan dari APBN. Nah, ini kan harus ada pertanggungjawabnnya, harus ada relevansinya. Harus ada kerjaannya.
“Di situlah Densus 88 memelihara isu terorisme, dari cerita kawan yang ditangkap Densus 88. Densus itu menyusup-nyusupkan orang-orangnya dan mengaitkan target dengan orang itu agar dipersepsikan target itu sebagai teroris.”
Lebih dari itu, Ismail menyatakan kaum Muslim harus memikirkan secara serius masalah Densus 88. Karena bila dibiarkan, umat Islam akan terus jadi korban Densus 88.
“Ini luar biasa, kalau sekedar salah tangkap, masih bisa dibebaskan, kalau salah tembak? Tidak sedikitkan yang salah tembak, apakah Densus bisa menghidupkannya lagi?” tanyanya retoris.
Ia memaparkan beberapa kedzaliman Densus 88. Salah satu adik korban salah tangkap di Bima bercerita pada Ismail bahwa kakaknya itu orang biasa-biasa saja.
“Kalau mau disebut radikal, radikalan dia daripada kakaknya, tetapi kakaknya ditangkap dengan proses yang luar biasa ditayangkan televisi. Densusnya pakai senjata lengkap. Padahal orang itu biasa-biasa saja. Tidak melakukan apa-apa. densus 88 sudah ngaku keliru. Dan melepaskannya dengan memberi uang Rp 500 ribu. Ditolak sama keluarganya. Kenapa? Karena orang ini sudah bonyok tidak karu-karuan. Ibunya stres memikirkan anaknya ini hingga struk sampai sekarang,” beber Ismail.
Selain kasus salah tangkap di atas, Ismail pun menceritakan fakta salah tembak di Bima yang didapatnya dari Pembina TPM Achmad Michdan.
“Ada yang ditembak tapi tidak tahu namanya. Suatu saat, Densus 88 baru mencari nama orang yang ditembaknya itu. Cari tahunya ke mana? kepada keluarganya. Kata keluarganya, jangan kasih tahu, biar tahu rasa dia.”
Menurut Ismail, Densus benar-benar dzalim. Sudah nembak, tidak tahu siapa namanya yang ditembak itu. “Kalau salah tangkap masih mending bisa dilepaskan, kalau salah tembak seperti ini bagaimana, apakah Densus bisa menghidupkan?” ungkapnya (bilal/arrahmah.com)