JAKARTA (Arrahmah.com) – Pada 13 Juni, 12 (dua belas) Pemohon melalui kuasanya INTEGRITY (Indrayana Centre for Government Constitution and Society), telah mendaftarkan secara online uji materi atas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu, yang menyoal konstitusionalitas presidential threshold (syarat ambang batas pencalonan presiden).
Pada Kamis (21/6/2016), pemohon menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan tersebut, setelah kantor Mahkamah Konstitusi kembali buka pasca libur Idul Fitri.
Sebagaimana dilansir Sang Pencerah, Jumat (22/6) disebutkan bahwa Kedua belas Para Pemohon adalah perseorangan WNI dan badan hukum publik non-partisan yang mempunyai hak pilih dalam pilpres, pembayar pajak, serta berikhtiar untuk terus menciptakan sistem pemilihan presiden yang adil dan demokratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua belas pemohon tersebut yaitu:
1. M. Busyro Muqoddas
2. M. Chatib Basri
3. Faisal Basri
4. Hadar N. Gumay
5. Bambang Widjojanto
6. Rocky Gerung
7. Robertus Robet
8. Feri Amsari
9. Angga D. Sasongko
10. Hasan Yahya
11. Dahnil A. Simanjuntak
12. Titi Anggraini
Pemohon ke-11 dan 12 masing-masing mewakili lembaganya, yaitu selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Perludem.
Adapun alasan berbeda pengajuan permohonan ini adalah:
1. Pasal 222 UU 7/2017 mengatur “syarat” capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.
2. Pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
7. Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945
8. Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
9. Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam pernyataan tertulisnya, Kuasa Hukum Para Pemohon menegaskan agar Mahkamah Konstitusi segera memberikan putusan atas uji konstitusionalitas ini, karena:
1. Soal presidential threshold ini adalah hal yang penting dan strategis bagi adil dan demokratisnya pilpres, sehingga sangat layak diputus dalam waktu segera;
2. MK pernah dengan bijak memutus perkara-perkara pemilu dengan cepat, misalnya soal KTP sebagai alat verifikasi pemilu, yang diproses hanya dalam beberapa hari, dan diputus 2 (dua) hari menjelang pemilu; tiga, putusan yang cepat, sebelum proses pendaftaran capres pada tanggal 4 – 10 Agustus 2018 tentu adalah sikap yang bijak dari MK untuk menjaga kelangsungan Pilpres tetap berjalan baik, dan sesuai dengan konstitusi.
Pemohon juga memohonkan agar pembatalan Pasal 222, yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak Pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014. Dengan demikian, kerugian konstitusional Para Pemohon betul-betul terlindungi, dan pelanggaran konstitusi tidak dibiarkan berlangsung dan menciderai pelaksanaan Pilpres 2019.
“Akhirnya, kami paham betul bahwa permohonan uji materi soal ini telah dilakukan berulang kali. Tetapi, justru karena sangat prinsipnya persoalan ini, maka izinkan kami memperjuangkan lagi hak rakyat Indonesia untuk secara bebas memilih calon presidennya,” ungkap pernyataan tersebut.
Pemohon mengaku optimis dan meyakini bahwa majelis hakim Mahkamah Konstitusi berkenan menyidangkan kasus ini secara cepat, dan akhirnya mengabulkan serta mengembalikan hak rakyat Indonesia untuk memilih langsung presidennya, tanpa dibatasi oleh syarat ambang batas pencalonan presiden yang bertentangan dengan UUD 1945.
(ameera/arrahmah.com)