DAMASKUS (Arrahmah.id) — Lebih dari 12 kuburan massal ditemukan di Suriah, pada Senin (16/12/2024), dan berisi sisa-sisa jasad warga sipil yang diduga dibunuh oleh rezim pemimpin terguling Bashar al-Assad.
Kepala organisasi advokasi Suriah yang berbasis di Amerika Serikat pada Senin (16/12) mengatakan diperkirakan sedikitnya 100.000 mayat di dalamnya.
Mouaz Moustafa mengatakan dalam wawancara telepon dari Damaskus yang dilansir dari Reuters (17/12), bahwa kuburan massal di al Qutayfah, yang terletak 40 kilometer di utara ibu kota Suriah, adalah salah satu dari lima yang telah diidentifikasi selama bertahun-tahun.
“Seratus ribu mayat adalah perkiraan paling konservatif dari jumlah jenazah yang dikubur di lokasi tersebut,” kata Moustafa, kepala Satuan Tugas Darurat Suriah. “Itu perkiraan yang sangat, sangat, sangat, hampir tidak adil dan konservatif.”
Moustafa mengatakan bahwa ia yakin ada lebih banyak kuburan massal selain kelima lokasi tersebut. Kuburan massal itu tak hanya untuk korban yang merupakan warga Suriah, juga terdapat warga negara AS, Inggris, dan warga negara asing lainnya.
Sebelumnya, kru Anadolu Agency merekam video kuburan massal di wilayah Jembatan Baghdad di luar Damaskus, tempat penemuan sejumlah jasad yang diyakini merupakan warga sipil yang dibunuh rezim Assad.
Rekaman itu memperlihatkan lubang-lubang panjang dan dalam yang digali untuk mengubur jenazah-jenazah secara bertumpuk. Selain itu, karung-karung yang ditandai dengan kode penjara dan nama-nama almarhum juga terlihat di video tersebut.
Karung-karung yang dikeluarkan dari kuburan terlihat berisi sisa-sisa jasad.
Pemakaman tersebut diyakini dijadikan tempat untuk mengubur orang-orang yang meninggal karena penyiksaan dan kondisi-kondisi lainnya di berbagai penjara, termasuk Penjara Sednaya yang terkenal di ibu kota Suriah, Damaskus.
Ratusan ribu warga Suriah diperkirakan telah terbunuh sejak 2011. Saat itu Bashar Al Assad melakukan tindakan keras atas protes terhadap pemerintahannya. Krisis di Suriah pun berkembang menjadi perang saudara berskala penuh.
Bashar Al Assad dan ayahnya Hafez, yang menjabat sebagai presiden sebelumnya, dituduh oleh warga Suriah, kelompok hak asasi manusia dan pemerintah lain melakukan pembunuhan di luar hukum. Mereka disebut melakukan eksekusi massal di dalam sistem penjara yang terkenal kejam di negara itu.
Bashar Al Assad berulang kali membantah bahwa pemerintahannya melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Ia menggambarkan para pengkritiknya sebagai ekstremis.
Duta Besar Suriah untuk PBB Koussay Aldahhak tidak segera menanggapi permintaan komentar. Ia memangku jabatan tersebut pada bulan Januari saat Assad masih berkuasa.
Kepada wartawan pekan lalu, ia mengatakan sedang menunggu instruksi dari otoritas baru. Ia mengatakan akan terus membela dan bekerja untuk rakyat Suriah.
Moustafa tiba di Suriah setelah Assad terbang ke Rusia. Pemerintahan Assad runtuh usai serangan kilat oleh pemberontak yang mengakhiri lebih dari 50 tahun kekuasaan tangan besi keluarganya.
Ia mengaku khawatir lokasi kuburan tidak aman. Menurut Moustafa, kuburan perlu dilestarikan guna melindungi barang bukti untuk penyelidikan. (hanoum/arrahmah.id)